Lihat ke Halaman Asli

Yang Terbaik Tak Selalu Kesembuhan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lakukan apa saja, Sus. Yang penting Ibu saya sembuh. Berapapun akan saya bayar.”

Suatu ketika, tim kami yang terdiri dari perawat dan dokter menjelaskan mengenai kondisi pasien kanker yang sedang mengalami perburukan. Kalimat diatas adalah kalimat yang sangat sering kami dengar. Seberapa banyak dan sering kami menjelaskan bahwa kondisi pasien tersebut sudah sangat sulit untuk diperbaiki, keluarga tetap saja berharap ada keajaiban atau mukjijat.

“Semua dikembalikan kepada Allah saja. Pasti itu yang terbaik.” Begitu hiburan yang mereka lontarkan untuk diri mereka sendiri.

Inilah ciri khas masyarakat Indonesia. Saya sangat acungi jempol untuk sisi religiusitas dalam menghadapi sebuah kondisi “mentok” seperti itu. Kembali pada pencipta, pengatur segalanya. Namun kadang tanpa disadari, kepasrahan tersebut seolah timpang. Disisi lain masih nampak keinginan yang menggebu dari keluarga akan kembalinya pasien pada kondisi perbaikan. Padahal pasien sudah berada di kondisi yang sangat buruk. Kerusakan fungsi tiga organ vital utama (jantung, paru, ginjal) ditambah dengan penyakit kronis utama berupa kanker dengan stadium lanjut (advance), secara statistik dan empiris sangat sulit membawa pasien kembali ke kondisi baik. Belum lagi ditambah faktor usia dan infeksi penyerta yang semakin memperberat penyakit utama.

Banyak yang berharap ruang intensif semacam ICU sebagai harapan terbesar pasien dan keluarga. Padahal, melihat dari fungsinya sendiri, untuk ICU bagi pasien kanker stadium lanjut bukanlah hal yang direkomendasikan. Kecuali bagi pasien kanker stadium awal dengan kemungkinan prognosis (prediksi sembuh atau perbaikan) masih bagus.

Fungsi ICU bagi pasien kanker sendiri bukanlah untuk kuratif (penyembuhan penyakit utama), tapi hanya sebatas suportif (mendukung/membantu kebutuhan pasien). Misalnya, pasien yang mengalami gagal napas, perlu dukungan alat bantu napas berupa ventilator. Tapi ventilator bukanlah obat atau alat untuk menyembuhkan penyakit utamanya. Namun sekali lagi, Indonesia memang memiliki sisi sosial yang tinggi. Seringkali pasien kanker dengan stadium lanjut diperkenankan masuk ICU. Meskipun dari awal sudah dijelaskan mengenai fungsi ICU yang hanya supportif itu sendiri, seringkali keluarga pasien ngotot untuk tetap masuk. Alhasil ketika kondisi pasien semakin menurun, mau tak mau lidah kami ditahan kelu untuk berkata “Semua upaya sudah maksimal, namun tubuh pasien sudah tak mampu merespon obat dosis paling tinggi yang diberikan.”

Bisa jadi, dengan kondisi pasien yang sangat buruk, pengobatan lama yang tak kunjung menuai perbaikan, dengan terus membiarkan pasien hidup dalam kondisi koma, justru memperlama penderitaan pasien itu sendiri. Atau bisa dibilang seperti memelihara tubuh tanpa raga. Padahal tenaga dan biaya yang dimiliki keluarga pasien akan lebih dibutuhkan bagi keluarga lainnya yang masih sehat. Ada anak-anak yang masih perlu melanjutkan pendidikan. Ada keluarga lain yang masih membutuhkan pendampingan. Sehingga, keputusan untuk merelakan pasien usia renta dengan kondisi penyakit yang sangat sulit disembuhkan, itulah pilihan terbaik.

Kadang, “yang terbaik” bukanlah selalu kesembuhan itu sendiri. Ajal, bisa jadi itulah yang terbaik. Bukankah kata “pasrah” itu menyandingi kata “semua dikembalikan kepada Allah”? Ketika ajal dinilai Allah yang terbaik, maka itulah “yang terbaik” yang sepatutnya kita terima.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline