Dewasa ini, Indonesia darurat akan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik yang seharusnya menjadi seorang fasilitator dalam lembaga pendidikan. Seperti fenomena gunung es, kasus kekerasan seksual ini selalu meningkat setiap tahunnya.
Data terbaru oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada hari Minggu, 12 Desember 2021, sebanyak 88 persen kekerasan seksual yang terjadi di sekolah dilakukan oleh tenaga pendidik atau guru, serta 22 persen sisanya dilakukan oleh kepala sekolah.
Kejadian ini semakin diperparah dengan fakta bahwa lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas, yang seharusnya menjadi tempat seorang siswa dan mahasiswa untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, juga menjadi tempat terjadinya tindakan kekerasan seksual.
Tidak hanya terjadi di sekolah dan universitas saja, kasus ini juga banyak terjadi di institusi pendidikan keagamaan seperti pesantren. Korban dari kasus kekerasan seksual ini adalah seorang siswi, mahasiswi, dan santri. Bahkan, beberapa diantaranya masih dibawah umur. Hal ini mengindikasikan seolah-olah tidak ada ruang yang aman untuk perempuan.
Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual adalah perbuatan menghina dan menyerang tubuh terkait dengan nafsu perkelaminan, gairah seksual seseorang, serta fungsi reproduksi secara paksa dan tanpa persetujuan dari korban.
Tindakan kekerasan seksual ini disebabkan karena kesenjangan relasi kuasa dan relasi gender. Hal ini tentu mengakibatkan korban menderita dan sengsara baik secara jasmani, mental, dan seksual. Korban juga mengalami kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, serta politik.
Salah satu bentuk perbuatan kekerasan seksual adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalah perbuatan seksual baik secara jasmani maupun rohani yang menyasar pada organ seksual korban.
Perbuatan seksual yang tergolong dalam pelecehan seksual antara lain bersiul, main mata, bicara dengan nuansa seksual, menunjukkan sesuatu pornografi serta hasrat seksual, meraba atau menyentuh bagian tubuh, serta tindakan atau gestur yang bersifat seksual.
Hal ini tentu menyebabkan korban pelecehan seksual merasa tidak nyaman, terganggu, direndahkan harga dirinya, hingga mengganggu kesehatan mental.
Terdapat 15 bentuk kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan, diantaranya:
- Pencabulan atau perkosaan
- Ancaman seksual termasuk ancaman perkosaan.
- Pelecehan seksual.
- Pemanfaatan organ tubuh korban untuk mendapatkan keuntungan atau eksploitasi seksual
- Perdagangan perempuan dengan maksud seksual.
- Prostitusi paksa.
- Perbudakan seksual.
- Pemaksaan perkawinan
- Pemaksaan kehamilan.
- Pemaksaan pengguguran kandungan atau aborsi.
- Pemaksaan pemasangan alat kontrasepsi dan pelaksanaan sterilisasi.
- Penyiksaan seksual.
- Memberi hukuman yang tidak manusiawi dan bernuansa seksual.
- Praktik adat-istiadat bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi kaum perempuan.
- Kontrol seksual, termasuk melalui aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Pemerintah berupaya melindungi anak dan perempuan dari semua tindakan kekerasan seksual, diantaranya:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286, 287, 290, dan 291.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 8(b), 47, 48.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78, dan 88.