Lihat ke Halaman Asli

Mycroft Diaz

Mahasiswa

Jejak Sejarah yang Masih Membekas: G30S PKI dalam Lensa Museum DR. A.H. Nasution

Diperbarui: 8 Juli 2024   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.obsessionnews.com/perjalanan-jenderal-besar-tni-purn-dr-ah-nasution/

Langkah kaki pengunjung bergema pelan di lorong-lorong Museum DR. A.H. Nasution. Dinding-dinding bercat putih menyimpan kisah kelam yang masih mengusik ingatan bangsa Indonesia: Gerakan 30 September 1965 atau yang lebih dikenal sebagai G30S PKI.

Museum ini, yang terletak di kediaman almarhum Jenderal A.H. Nasution di Jakarta, menjadi saksi bisu peristiwa berdarah yang nyaris merenggut nyawa sang jenderal. Lubang peluru di pintu dan dinding, serta foto-foto dokumentasi malam nahas itu, seolah berbisik pada pengunjung tentang ketegangan dan kengerian yang terjadi 59 tahun silam.

Dari sudut pandang Ilmu Sosiologi Komunikasi, G30S PKI merupakan contoh nyata bagaimana konflik ideologi dapat memecah belah suatu bangsa. Peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi yang transparan dan berimbang dalam masyarakat untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman dan pertikaian.

Teori Konflik, yang dikemukakan oleh Karl Marx dan dikembangkan oleh para sosiolog seperti Ralf Dahrendorf, dapat membantu kita memahami akar permasalahan G30S PKI. Teori ini menyatakan bahwa masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus-menerus di antara unsur-unsurnya.

Dalam konteks G30S PKI, pertentangan ideologi antara kelompok komunis dan non-komunis, serta ketimpangan ekonomi dan sosial, menjadi pemicu utama konflik. Museum DR. A.H. Nasution, melalui koleksi dokumen dan artefaknya, menggambarkan dengan jelas bagaimana ketegangan ini memuncak menjadi aksi kekerasan yang menewaskan enam jenderal dan seorang perwira.

Salah satu ruangan di museum ini memamerkan seragam berlumuran darah milik Ade Irma Suryani Nasution, putri Jenderal Nasution yang tewas di usia 5 tahun saat peristiwa tersebut. Benda ini menjadi simbol tragis dari korban tak berdosa dalam konflik ideologi yang berujung kekerasan.

Melalui perspektif Sosiologi Komunikasi, kita dapat melihat bagaimana narasi tentang G30S PKI telah dibentuk dan disebarkan selama bertahun-tahun. Propaganda dan kontrol informasi yang ketat selama era Orde Baru telah membentuk persepsi masyarakat tentang peristiwa ini. Namun, di era keterbukaan informasi saat ini, muncul berbagai interpretasi dan sudut pandang baru yang menantang narasi dominan.

Museum DR. A.H. Nasution, dengan koleksi dan presentasinya, menjadi medium komunikasi yang penting dalam menyampaikan sejarah G30S PKI kepada generasi baru. Namun, sebagaimana diingatkan oleh teori konflik, kita perlu memahami bahwa setiap narasi sejarah tidak pernah bebas dari kepentingan dan sudut pandang tertentu.

Sebagai pengunjung museum dan pewaris sejarah bangsa, kita diajak untuk merefleksikan peristiwa G30S PKI dengan kritis. Bagaimana kita dapat belajar dari tragedi ini untuk membangun komunikasi yang lebih baik antar kelompok dalam masyarakat? Bagaimana kita dapat mengelola perbedaan ideologi tanpa harus berujung pada kekerasan?

Museum DR. A.H. Nasution bukan sekadar tempat untuk melihat artefak sejarah. Ia adalah ruang refleksi, di mana kita diajak untuk memahami kompleksitas konflik sosial dan pentingnya komunikasi yang konstruktif dalam membangun masyarakat yang lebih damai dan toleran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline