Pada 20 Maret 2014 itu Izedrik Emir Moeis berdiri di depan majelis hakim, jaksa penuntut umum, para penasihat hukum, dan ratusan hadirin di gedung pengadilan Tipikor Jakarta. Ia membacakan nota pledoi dalam proses pengadilan yang berlangsung mulai akhir tahun 2013. Pada beberapa bagian, suara Emir lantang dan bergelora ketika membacakan bagian pledoinya yang berkisah soal pengadilan Bapak Bangsa, Soekarno, di Bandung, hampir seabad lampau; suaranya berubah lirih, dan sempat terisak, ketika menyapa keluarga dan kerabat partainya di PDI Perjuangan.
Nota pembelaan itu seperti suara seorang nasionalis yang sedih dan terluka. Emir dituduh menerima hadiah (gratifikasi) untuk memenangkan konsorsium Alstom Power Inc. dalam tender PLTU Tarahan Lampung pada 2004, kejadian 10 tahun sebelum hari itu.
Selama proses pengadilan ia ditahan di Rumah Tahanan Guntur, Manggarai, Jakarta Selatan. Disana Emir tidak hanya terkenang Bung Karno yang dizalimi kolonialis dan melawan dengan pledoi yang abadi dikenang zaman, "Indonesia Menggugat".
Ia juga teringat orang-orang nasionalis yang masuk penjara bertahun-tahun tanpa pengadilan, setelah geger politik 1965.
"Perlahan merayap suatu semangat nasionalisme dalam jiwa saya. Dalam kamar tahanan yang pengap dan sesak ini pemikiran dan jiwa nasionalisme saya jadi bertambah peka. Saya membayangkan betapa menderitanya Bapak John Lumingkewas dan kawan-kawannya dari kaum nasionalis yang 7 tahun disekap rejim Orde Baru tanpa proses hukum."
Kutipan di atas adalah penggalan bagian dari pledoi yang dibacakan Emir di depan, "Kembali....Sejarah Berulang Lagi (Saya Korban Persengkolan Jahat Kekuatan Asing; 2014)."
Pada geger 1965 itu, sudah banyak yang mahfum, pembantaian orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) hanyalah sasaran antara. Sasaran utama mereka yang naik kekuasaan lewat jalan bedil dan darah itu adalah mengenyahkan basis kekuasaan Soekarno hingga ke akar-akarnya.
Neokolonialisme
"Terpikir pula oleh saya mengapa kami--kaum nasionalis dan kaum Marhaenis-- banyak sekali yang mengalami nasib serupa, baik pada zaman kolonial Belanda (seperti yang dialami Bung Karno dan kawan-kawan), di zaman Orde Baru (seperti yang dialami Bapak John Lumingkewas dkk.), hingga di zaman reformasi (seperti dialami saya sekarang ini). Semua ini tidak lepas dari peran kaum Nekolim, neo kolonialisme-imperialisme," tulis Emir, selanjutnya, dalam pledoi yang dibukukan dengan cetakan terbatas itu.
Cerita kasus suap PLTU Tarahan Lampung itu bermula dengan banyak keganjilan bahkan sejak babak-babak awal.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandupradja mengakui kasus ini adalah "pesenan" dari Amerika Serikat. Dubes AS untuk Indonesia, seperti dikutip situs Tempo.co, juga tak biasanya mengaku memasang 1 orang khusus untuk memantau kasus ini dan selalu bersiap di kantor Kedubes AS di Jakarta.