Lihat ke Halaman Asli

A Story About Love

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13535693331386026057

Main mata. Main kata. Lalu suka. Asal jangan sampai main rasa. Tetep jaga hati dan pakai logika. Karena kalau tidak, lama-lama bisa gila. #puisimalam

Alarm yang sengaja dipasang Intan tadi malam berbunyi kencang. Membangunkan Intan dari tidur yang tidak terlalu lelap. Membuyarkan mimpi tentang bumi yang sudah tak lagi lengkap. Membiarkan pagi menyapu sisi gelap yang belum terungkap.

Dengan kepala yang berat, Intan memaksakan diri untuk bangun dan bergegas ke kamar mandi. Bersiap untuk menyambut hari yang masih belum terang benar. Kalau saja hari ini tidak ada janji untuk berkunjung ke rumah Dipa, tidak akan Intan mau bangun sepagi ini.

Dipa, kekasihnya 3 bulan belakangan ini memang tidak hanya tampan, tetapi juga pandai membuatnya tersenyum, pintar membuatnya terlarut dengan semua kata yang terucap. Namun, sebenarnya bukan itu yang membuat Intan mau menerima Dipa menjadi kekasihnya. Bukan karena Dipa yang tampan. Bukan karena Dipa yang pandai membuatnya tersenyum. Dan juga bukan karena Dipa yang pintar membuatnya terlarut dengan alunan kata yang terucap.

Masih teringat jelas di memory otak kiri Intan, bagaimana awal pertemuannya dengan Dipa. Saat Intan sedang mencari berita tentang film baru yang menceritakan sebuah kisah anak pantai yang luar biasa. Di sudut bioskop tempat pemutaran perdana film itu, dilihatnya Dipa diantara para pemain figuran yang ikut sibuk diwawancara. Saat itu Dipa tidak sendirian, dia ditemani oleh seorang wanita setengah baya yang ternyata ibu yang melahirkan kekasihnya.

Selama berlangsungnya acara Intan justru lebih tertarik untuk mengajak ibu Dipa mengobrol tentang anaknya. Awalnya memang hanya tentang peran semata, tetapi ternyata semakin melebar kemana-mana. Hingga di akhir acara Dipa datang dan ikut berbicara. Sejak itulah, Ibu, Dipa dan Intan menjadi semakin akrab saja. Setiap ada Intan pasti Dipa mendampinginya.

*********

sebelum mengenal Dipa, Intan lebih suka berbagi cinta untuk menikmati dunia. Jalan-jalan, berwisata, bertamsya kemana saja. Tapi kali ini berbeda. Intan lebih senang mengunjungi rumah Dipa. Bercengkerama dengan keluarga kekasihnya itu.

Baru kali ini Intan bisa dekat dengan keluarga kekasihnya. Menemani ibu Dipa memasak makanan kesukaannya. Menghabiskan waktu untuk memanjakan diri di salon bersama ibu Dipa. Mengobrol tentang apa saja disetiap sudut rumah Dipa. Hal-hal sederhana itu sudah cukup membuat Intan bahagia.

Sejak mamanya pergi bersama adik dari papanya, Intan memang lebih senang menghabiskan waktu di luar sana. Bersama pria-pria yang mengajaknya bersenggama. Bersama teman-teman yang tak henti saling berbagi kisah yang kadang tidak nyata. Intan sudah lupa bagaimana rasanya punya mama.

Sejak bersama Dipa, dunianya berubah. Tidak ada lagi mabuk dalam diskotik yang penuh dengan asap dan bau dosa. Tidak ada lagi main mata dengan pria yang bersedan biru tua. Tidak ada lagi malam-malam panjang dengan sadar yang berlibur ke bulan.

Sejak bersama Dipa, hanya ada kata cinta tentang sebuah rasa. Hanya ada pelukan mesra yang berbalut asmara. Hanya ada ibu yang menganggapnya istimewa. Hanya ada Intan, ibu dan Dipa saja.  Hanya ada bahagia.

*******

setelah selesai memakai eyeliner tipis di kelopak matanya, buru-buru Intan menyemprotkan parfum berbau manis ke belakang kupingnya. Bau manis yang disukai oleh Dipa dan ibu nya segera saja memenuhi kamar Intan. Ah, selera Dipa dan ibunya memang tidak jauh beda. Mulai dari makanan, warna pakaian, bau parfum hingga orang yang mereka suka pun hampir sama.

Tak sabar Intan bergegas keluar rumah, memanggil taxi dan duduk manis di dalamnya. Hampir setiap hari Intan berkunjung ke rumah kekasihnya itu. Kadang untuk sekedar makan siang sebelum pergi ke kantor majalah tempatnya bekerja. Kadang untuk sekedar menemui kekasihnya yang sedang libur kuliah untuk membagi desah dan menyatukan raga. Tak jarang, Intan datang hanya untuk sekedar menemani ibu Dipa saat anaknya sedang kuliah. Tak jarang juga tidak ada alasan pasti kenapa Intan ke sana. Hanya karena ingin, hanya karena dorongan rindu, hanya karena perasaan harus, hanya karena kata “kenapa tidak ke sana”.

Intan selalu merindukan cara Dipa membelainya. Intan selalu merindukan cara Ibu Dipa memeluknya. Intan selalu merindukan cara Dipa membangkitkan gairah saat menciumi telinganya. Intan hanya merindukan cara ibu Dipa memanjakannya dengan setiap makanan yang dia sukai, dengan setiap kata semangat yang dia dapatkan, dengan setiap perhatian kecil yang dia candui. Intan selalu merindukan untuk kembali ke rumah Dipa.

Banyak teman-temannya yang mengejek Intan. Ada yang bilang Intan pacaran dengan anak mama. Ada yang teriak Intan sudah jadi anak rumahan. Ada yang diam-diam mengatakan Intan akan bosan. Ada yang menertawai Intan karena tidak lagi liar. Intan tidak perduli.

Bagi Intan, tahu apa mereka tentang apa yang dia rasakan. Tahu apa mereka tentang Dipa yang selalu memberi ketenangan. Tahu apa mereka bagaimana dimanjakan oleh ibu Dipa dengan kasih sayang.

******

Tinggal beberapa blok lagi, Intan sudah sampai di rumah Dipa. Namun deretan panjang mobil-mobil yang tidak berhenti meneriakkan klakson yang panjang menghalangi Intan untuk sampai secepatnya.

Tiba-tiba bunyi ponsel yang nyaring mengagetkan Intan. Buru-buru diangkatnya ponsel yang mengkumandangkan lagu kesayangannya itu.

“halo sayang… “

“ iya, ini aku lagi di jalan mau ke rumah kamu…. Kamu pulang jam 3? Yaudah nggak papa, aku cuma mau nemenin mama kamu masak. “

“iya mumpung lagi libur nih, aku tunggu kamu di rumah ya sayang. Bye”

Dimatikan ponsel yang baru menjembatani pembicaraannya dengan Dipa. Tanpa menunggu waktu lama, di pencetnya beberapa nomer yang sudah di hafalnya,

“halo, mam, ini aku sudah mau sampe rumah lho. Siap-siap manjain aku yaaa.. aku semaleman nggak bisa tidur. Kangen sama mama, makanya aku pagi-pagi buru-buru ke rumah. Mumpung Dipa lagi kuliah. Yaudah see you soon ya mam, love you”

Dipa, kekasihnya 3 bulan belakangan ini memang tidak hanya tampan, tetapi juga pandai membuatnya tersenyum, pintar membuatnya terlarut dengan semua kata yang terucap. Namun, sebenarnya bukan itu yang membuat Intan mau menerima Dipa menjadi kekasihnya. Bukan karena Dipa yang tampan. Bukan karena Dipa yang pandai membuatnya tersenyum. Dan juga bukan karena Dipa yang pintar membuatnya terlarut dengan alunan kata yang terucap dari mulutnya. Tetapi karena Dipa memiliki ibu yang juga menjadi kekasih luar biasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline