Oleh : Neno Salsabillah
(Aktivis Muslimah & Revowriter Serang)
Belum lama ini insiden masuknya kapal-kapal nelayan asal China yang dikawal kapal coast guard terdeteksi masuk ke perairan Natuna secara ilegal. Masuknya kapal-kapal Negeri Tirai Bambu di Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia membuat berang pihak Indonesia. Pemerintah sendiri, lewat Kementerian Luar Negeri, telah mengirim nota protes resmi dan memanggil Dubes China untuk Indonesia di Jakarta.
Sudah kita ketahui bahwa perairan Natuna memiliki sumber daya perikanan dan alamnya yang begitu indah, selain itu dilansir dari Dilansir dari Harian Kompas, 23 Juli 2016, Haposan Napitupulu, mantan Deputi Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas, menjabarkan kalau laut Natuna memiliki cadangan minyak dan gas (migas) yang sangat besar.
Kekayaan Natuna
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ( ESDM), Indonesia memiliki cadangan gas bumi mencapai 144,06 triliun kaki kubik (TCF), terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 TSCF dan cadangan potensial (P2) 42,84 TSCF. Cadangan gas terbesar di Indonesia berada di Natuna, tepatnya berada di Blok East Natuna 49,87 TCF.
Selanjutnya disusul Blok Masela di Maluku 16,73 TCF, dan Blok Indonesia Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar 2,66 TCF. Besarnya kandungan gas alam di Natuna tersebut, membuatnya disebut-sebut sebagai cadangan gas terbesar di Asia Pasifik.
Sejak tahun 1960 telah dilakukan kegiatan eksplorasi disalah satu blok migas di Natuna, diketahui blok yang memiiliki cadangan gas paling besar adalah lapangan gas Natuna D-Alpha dan lapangan gas Dara.
Eksplorasi ini dilakukan setelah salah satu perusahaan migas Italia, Agip, melakukan survei seismik laut. Perusahaan tersebut berhasil menemukan cadangan migas terbesar sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia dengan cadangan gas 222 triliun kaki kubik (TCF) dan 310 juta bbl minyak, dengan luas 25 x 15 km2 serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter.
Eksplorasi pun terus dilanjutkan, hingga ditemukan pada 1973, lapangan gas D-Alpha ini belum dapat dieksploitasi karena membutuhkan biaya yang tinggi disebabkan kandungan gas CO2-nya yang mencapai 72 persen.
Pada 1980, pengelolaan blok ini digantikan oleh Esso dan Pertamina. Esso kemudian bergabung dengan Mobil Oil menjadi ExxonMobil dan telah menghabiskan biaya sekitar 400 juta dollar AS untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan kajian pengembangan lapangan. Namun, tetap saja lapangan gas ini belum berhasil dieksploitasi (sumber: kompas.com).
Saat ini ada 13 perusahaan migas, dua di antaranya perusahaan migas nasional, melakukan kegiatan operasi perminyakan di Laut Natuna. Enam blok di antaranya telah dan akan berproduksi. Tujuh blok lainnya masih dalam tahap eksplorasi (sumber: tribunnews).