Riuh rendah menuju Pemilu 2024 sudah sangat terasa. Ada beberapa calon legislatif dan tim sukses partai politik peserta pemilu yang bergerak di bawah tanah untuk meyakinkan pendukungnya dan juga untuk mencari tambahan suara dari pemilih yang belum menentukan pilihan.
Segala macam cara dilakukan, tidak sedikit alat politik dimanfaatkan, bahkan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan sekalipun.
Salah satunya adalah politik identitas, salah satu alat politik yang selalu digunakan oleh para politisi dan tim sukses untuk mengamankan basis suara di setiap Pemilu.
Menurut Lilliana Mason and Nicholas T Davis, politik identitas adalah partisipasi individu-individu dalam politik atas nama kelompok sosial tertentu.
Makna politik identitas ini berangkat dari sejarah perlawanan terhadap penindasan kaum minoritas di Amerika. Misalnya Martin Luther King yang memimpin masyarakat kulit hitam untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Di Indonesia, politik identitas yang terlihat bukan hanya memperjuangkan hak-hak kaum minoritas tetapi ajakan untuk memilih mereka yang memiliki kesamaan baik dari suku, agama dan ras di setiap Pemilu dan Pilkada.
Akan tetapi, selain politik identitas, berdasarkan pengamatan penulis, gegap gempita menuju Pemilu selalu muncul salah satu alat politik yang mirip dengan politik identitas digunakan oleh para politisi untuk mendulang suara di beberapa daerah.
Apropriasi Budaya
Selebgram Nia Ingrid sempat dikritik oleh netizen setelah ia mengunggah swa fotonya mengenakan pakaian adat Papua dalam rangka mempromosikan ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua.
Dalam foto tersebut, Nia berpose lengkap menggunakan wig rambut keriting dan memegang busur dan panah sebagai atribut. Nia dikritik lantaran merepresentasikan budaya Papua dengan keliru.