Setelah saya mengambil keputusan terlibat sebagai panitia adhoc Pengawas Pemilu di tingkat kecamatan, saya semakin paham dari mana pendidikan politik itu dimulai. Tentunya setelah melihat gegap-gempita menjelang pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
Pemilihan Umum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 dibagi dalam beberapa tahapan. Khususnya pada saat ini, kita sedang berada pada tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sementara Pencalonan Anggota Legislatif sudah ditetapkan oleh KPU.
Sesuai dengan Pasal 276 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kampanye pemilu akan dilaksanakan 25 hari setelah penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota Legislatif dan 15 hari setelah penetapan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Artinya selama 25 hari sejak penetapan DCT hingga kampanye pemilu dimulai pada tanggal 28 November 2023 peserta pemilu dilarang melakukan kampanye. Bawaslu sendiri dalam melakukan tugas dan fungsi pencegahan telah memberikan surat imbauan kepada partai politik untuk tidak melakukan kampanye di luar jadwal.
Akan tetapi, dalam tenggang waktu ini, penulis menyebutnya sebagai masa tenang yang tidak tenang. Masa Tenang dalam peraturan perundang-undangan adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas Kampanye Pemilu. Biasanya 3 hari sebelum pemungutan suara.
Sementara masa tenggang ini, penyelenggara pemilu sedang mengerjakan tahapan yang lain sementara para calon seharusnya mempersiapkan rencana kampanye yang akan dilakukan.
Akan tetapi, berkaca dari fenomena-fenomena sebelum penetapan DCT, tidak sedikit bakal calon yang mencuri star kampanye dengan melakukan safari politik ke pelosok-pelosok, kampung-kampung dan rumah-rumah, alih-alih akan melakukan sosialisasi dan pendidikan politik, justru yang terjadi adalah kampanye.
Kampanye ini dilakukan dengan berbagai macam cara seperti pemasangan baliho yang memuat unsur-unsur ajakan (kampanye), bahkan terjadinya praktik-praktik yang berbau money politic.
Hal-hal tersebut disebut oleh mantan Komisioner Bawaslu Provinsi NTT, Baharuddin Hamzah sebagai ruang abu-abu yang tak dapat dijangkau oleh pengawas pemilu karena dilakukan di luar jadwal atau tahapan dan dilakukan oleh mereka yang belum tentu akan terdaftar di DCT, dalam hal ini bukan anggota peserta pemilu (partai politik) atau tim kampanye yang terdaftar di KPU.
Penulis berasumsi, jika penetapan DCT belum dilakukanpun para politisi sudah mencuri star kampanye, apa yang akan menjamin para politisi ini untuk tidak melakukan hal yang sama pada tenggang waktu hampir satu bulan ini?