Lihat ke Halaman Asli

Neno Anderias Salukh

TERVERIFIKASI

Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Golput, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Diperbarui: 15 September 2023   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | Antara Foto via kompas.com

Penyelenggara Pemilu bertanggungjawab terhadap hal-hal teknis,  tidak untuk urusan ideologis.

Tinggal menunggu waktu untuk masyarakat Indonesia melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pemilu yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 ini merupakan kesempatan ke-14 masyarakat Indonesia menentukan sikap politiknya. Sikap dimana seorang warga negara mengambil keputusan sebagai pemilih untuk menentukan masa depan bangsa dan negara.

Mekanisme pengambilan keputusan yang dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali ini telah diatur dalam undang-undang dengan menetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai penyelenggara. Tujuannya adalah kedaulatan rakyat dalam menentukan perputaran roda pemerintahan atau pengalihan kekuasaan dapat disampaikan dengan aman dan tertib.

Meski demikian, pemilu tidak pernah luput dari berbagai persoalan. Penulis sepakat dengan Ketua Bawaslu Republik Indonesia, Rahmat Bagja bahwa persoalan-persoalan yang terjadi selama pemilu hanya datang dari 3 (tiga) aspek yaitu penyelenggara, peserta pemilu dan pemilih itu sendiri.

Salah satu sikap politik yang dianggap sebagai salah satu persoalan pemilu adalah Golongan Putih. Istilah yang umumnya dikenal sebagai Golput adalah salah satu istilah politik yang disematkan kepada masyarakat yang tidak memberikan suara atau tidak memilih satu pun calon pemimpin dalam penyelenggaraan pemilu, yang belakangan ini digunakan dalam pemilihan apa pun, jika masyarakat memilih untuk tidak memilih satu pun peserta.

Golput di Indonesia pertama kali digaungkan oleh salah satu aktivis pencetus orde baru, Arief Budiman pada Pemilu 1973. Sikap politik Arief Budiman dan kawan-kawan adalah tandingan terhadap Golkar-nya orde baru yang dianggap tidak mewujudkan tujuan awal berdirinya orde baru yaitu menciptakan bangsa atau negara yang demokratis.

Gerakan Golput ini menurut Nyarwi Ahmad dalam jurnalnya berjudul Golput Pasca Orde Baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif, disebut sebagai golput ideologis. yaitu mereka yang tidak mencoblos karena tidak percaya pada sistem pemerintahan yang sedang berlaku. Golput Ideologis ini menganggap negara sebagai korporat yang dikuasai sejumlah elit dan tidak memegang kedaulatan rakyat secara mutlak.

Menurut penulis, Golput Ideologis belum mati bahkan terus bertambah dibandingkan dengan jenis golput yang lain. Mengapa?

Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia pada tahun 2021, menunjukkan bahwa kepercayaan anak muda terhadap lembaga Partai Politik (Parpol) terlihat rendah yakni 32,67 persen. Sementara sebanyak 52,7 persen anak muda mengatakan partai politik atau politisi belum berhasil mewakili aspirasi masyarakat. Tentunya, apa yang dikatakan oleh kaum muda dipengaruhi oleh sikap-sikap pemerintah yang tidak pro rakyat seperti dalam membangun industri, food estate, kawasan pariwisata dan lain-lain. Terakhir, konflik Pulau Rempang yang belum menemui titik temu.

Kaum muda yang melek teknologi ini setiap harinya disuguhkan dengan konten-konten yang berisi konflik-konflik kepentingan dimana selalu menempatkan masyarakat atau kaum lemah sebagai korban. Alih-alih menjadi apatis, ideologi anak muda memberontak sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap politik di Indonesia dengan cara menjadi golput ideologis. Tentu, dengan jumlah pemilih didominasi oleh pemilih dari kaum millennial dan gen z yaitu 56 persen bukan tidak mungkin, golput karena ideologi berpotensi meningkat pada tahun ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline