Menggali dan memahami budaya dan nilai-nilainya serta kearifan lokal yang kemudian akan digunakan sebagai media dan materi pembelajaran menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana cara melakukannya?
Seperti karakteristik Kurikulum Prototipe 2022, guru dapat menggunakan budaya, kearifan lokal dan potensi alam sebagai media dan materi pembelajaran yang saya sebut sebagai model pembelajaran kontekstual. Akan tetapi, menerapkan model pembelajaran kontekstual ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Selain tantangan yang sudah saya sampaikan melalui artikel Tantangan dan Optimisme Penerapan Kurikulum Prototipe 2022, menggali dan memahami budaya dan nilai-nilainya serta kearifan lokal yang kemudian akan digunakan sebagai media dan materi pembelajaran menjadi tantangan tersendiri.
Mengapa? Tidak sedikit guru yang mengajar di sekolah-sekolah berasal dari luar daerah dengan budaya dan kearifan lokal yang berbeda. Belum lagi ditambah dengan guru-guru lokal milenial yang cenderung tidak mempedulikan budaya dan kearifan lokal.
Karena itu menggali dan memahami budaya dan kearifan lokal merupakan kewajiban guru, dalam hal ini sekolah sebagai penanggung jawab. Sehingga melalui tulisan ini, penulis akan membagikan pengalaman bagaimana menggali dan memahami budaya dan kearifan lokal untuk dijadikan sebagai media pembelajaran.
Pertama, live in
Live in adalah sebuah istilah keren yang kerap digunakan oleh para pekerja sosial yang bekerja di suatu daerah. Live in lebih dari sekadar mengadakan bakti sosial seperti membagikan bantuan makanan, minuman, perumahan, obat-obatan dan lain sebagainya, tetapi live in adalah sebuah sikap hidup yang dilakukan oleh seorang pekerja sosial untuk hidup bersama masyarakat setempat.
Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak. Jika mayoritas masyarakat adalah nelayan maka guru harus menjelma sebagai seorang nelayan. Jika mayoritas masyarakat berprofesi sebagai petani dan peternak maka guru harus menjelma sebagai petani dan peternak.
D isini kita menemukan sebuah kesetaraan dan meruntuhkan tembok-tembok sosial antara guru dan petani, guru dan nelayan, guru dan peternak. Tembok-tembok sosial itu adalah profesi guru yang dianggap jauh lebih terhormat dari kehidupan masyarakat itu sendiri yang tak dapat disatukan.