Ada maksud tersembunyi dari oknum tersebut, ia ingin kontrol masyarakat terhadap kasus ini dikurangi bahkan tidak ada.
Tepat 21 Desember 2021, Polda NTT menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan ibu dan anak di beberapa titik Tempat Kejadian Perkara (TKP). Rekonstruksi ini adalah bagian dari penyelidikan kepolisian guna memastikan perbuatan pelaku. Apakah pelaku mengatakan sejujurnya atau masih menyembunyikan motif-motif tertentu?
Dalam sebuah proses rekonstruksi, dapat dilakukan secara terbuka maupun tertutup. Pelaksanaan rekonstruksi secara terbuka maupun tertutup berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang dari pihak kepolisian, tentunya dengan dasar hukum yang jelas sesuai dengan standar operasional kepolisian.
Secara khusus untuk kasus pembunuhan ini, rekonstruksi dilakukan secara terbuka yang berarti membuka keluasan kepada publik untuk ikut menyaksikan jalannya rekonstruksi. Akan tetapi, rekonstruksi terbuka memiliki margin yang patut ditaati oleh masyarakat.
Polisi memasang garis polisi di setiap titik rekonstruksi sebagai larangan memasuki area peragaan agar dalam prosesnya tidak terhalang oleh massa. Garis polisi dibantu dengan kehadiran personil bersenjata untuk melindungi tersangka dari sesuatu yang tidak diinginkan, mengingat kasus ini mendapat kecaman dari masyarakat luas.
Akan tetapi, tidak ada batasan kepada masyarakat yang ingin menyaksikan dan media untuk liput. Artinya media diizinkan meliput rekonstruksi dari awal sampai akhir untuk kepentingan publikasi. Masyarakat yang berkepentingan seperti keluarga wajib menyaksikan, mengambil gambar maupun video.
Mengapa? Jika dikemudian hari, keluarga korban tidak menerima keputusan hakim menghukum tersangka maka keluarga dapat menggunakan foto atau video rekonstruksi sebagai alat pembuktian untuk mengajukan hukum banding.
Namun yang terjadi di lapangan membuat kening berkerut dan menaikkan tensi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam tayangan visual salah satu media lokal Nusa Tenggara Timur, Pos Kupang merekam perlakuan aneh seorang polisi terhadap awak media.
Dalam tayangan tersebut menunjukkan seorang polisi melarang wartawan Pos Kupang untuk merekam atau meliput rekonstruksi kasus pembunuhan terhadap Astrid dan Lael, bahkan ada ancaman penyitaan kamera maupun smartphone.
Dalam tayangan lain, warga yang ikut menyaksikan rekonstruksi di TKP dilarang untuk mengambil gambar maupun video, bahkan hampir terjadi perebutan smartphone antara seorang warga dan seorang polwan.