Lihat ke Halaman Asli

Neno Anderias Salukh

TERVERIFIKASI

Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Banu, Hukum Adat Konservasi Lingkungan Hidup Suku Dawan (Timor)

Diperbarui: 8 November 2021   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perlindungan lingkungan hidup | Pixabay

Sejatinya, bagi manusia, sumber daya alam adalah sebuah komponen penting yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, manusia pada hakikatnya memiliki naluri untuk mengelola sumber daya alam dengan bijaksana agar lingkungan tetap lestari.

Namun, tak dapat dimungkiri, ketika ketamakan menguasai hati manusia, pengelolaan sumber daya alam akan mengarah pada eksploitasi yang mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem, beberapa spesies dan keanekaragaman hayati terancam punah, hilangnya habitat-habitat yang sulit untuk digantikan dan pertumbuhan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia akan semakin lambat bahkan suatu saat akan hilang.

Negara melihat potensi terjadinya eksploitasi sumber daya alam sebagai sebuah ancaman serius bagi pelestarian lingkungan hidup. Karena itu, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dibentuk sebagai sebuah payung untuk melindungi lingkungan hidup.

Akan tetapi, jauh sebelum negara melihat hal itu dan membentuk undang-undang konservasi, masyarakat Suku Atoni (Atoin Meto) di Pulau Timor memiliki hukum adat untuk konservasi sumber daya alam yang dikelola sebagai kebutuhan manusia, hutan, dan segala sesuatu yang menjadi penopang hidup manusia.

Hukum adat tersebut dikenal dengan istilah Banu yang berarti larangan terhadap berbagai aktivitas yang berhubungan dengan sumber daya alam seperti flora dan fauna. 

Keberadaan hukum adat bermula dari kesadaran nenek moyang Suku Atoni yang melihat potensi penggunaan sumber daya alam berlebihan atau mengarah pada eksploitasi.

Namun Banu tidak bersifat permanen. Banu hanyalah hukum yang mengontrol perilaku manusia dalam mengelola sumber daya alam.

Terdapat dua tahap dalam hukum adat Banu. Pertama, Saeba Banu (Banu Naik) yang berarti ritual menandai seluruh aktivitas pengelolaan sumber daya alam dihentikan. Kedua, Sanu Banu (Banu Turun) yang berarti ritual menandai seluruh aktivitas pengelolaan sumber daya alam dilakukan.

Misalnya di daerah penulis, khususnya Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan menerapkan Banu untuk pinang. Bagi Suku Atoni, pinang tak hanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi tetapi juga memiliki nilai adat sebagai simbol penghargaan yang tidak dapat dilepas dari kehidupan Atoin Meto.

Karena itu, Banu diperlukan untuk melindungi pinang dari ancaman ekploitasi atau perilaku manusia yang mengancam eksistensi pinang di wilayah kekuasaan masyarakat Suku Atoni.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline