Apa yang saya ulas dalam beberapa satuan kalimat ini mungkin akan menggelitik pembaca. Akan tetapi, saya tidak bermaksud menghapus anggapan budaya patriarki, atau mencoba memframing budaya Suku Dawan untuk mendukung budaya patriarki, atau tetap mensupport laki-laki untuk menempati posisi superior.
Dalam budaya patriarki, perempuan dipandang rendah atau dianggap memiliki status sosial yang sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki lebih diutamakan dalam kelompok-kelompok sosial bahkan dalam kehidupan bermasyarakat itu sendiri.
Tidak sedikit orang menganggap perempuan sebagai kelompok yang lemah dalam sebuah proses interaksi sosial.
Suku Dawan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menganut sistem tersebut. Misalnya anak-anak yang dilahirkan dari sepasang suami-istri harus menyandang nama belakang suami atau bapak.
Contoh lainnya adalah kesempatan bersekolah bagi seorang perempuan masih sangat minim dibandingkan dengan kesempatan yang dimiliki oleh seorang laki-laki.
Tidak sedikit orang mengecam budaya ini. Pegiat perlindungan perempuan, aktivis kesetaraan gender, dan berbagai organisasi yang berjuang bagi keadilan sosial dan kemanusian. Bahkan, saya sendiri mengecam sistem yang sementara saya anut ini.
Namun, Seiring berjalannya waktu, saya melihat ada nilai fundamentalisme yang mungkin tidak pernah diekspos. Saya mencoba menilik budaya Suku Dawan yang dianggap menganut sistem budaya patriarki ini dari perspektif yang berbeda.
Karena budaya patriarki mengesampingkan perempuan dalam dimensi sosial masyarakat maka saya membangun argumen yang baru bahwa dalam budaya Suku Dawan mengakui bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial budaya.
Memang realita dalam budaya bercerita; perspektif kemanusian menganggap perempuan berada pada kasta terendah dalam status sosial. Akan tetapi, bagi saya ada paham yang sejatinya menyanjung dan menempatkan posisi perempuan sebagai central kehidupan dalam realitas berbudaya.
Paham ini perlu digali, dipahami, diekspos dan mungkin harus disempurnakan agar menjadi sebuah nilai yang bermakna dalam penegakan kesetaraan gender, agar budaya tetap ada pada tempatnya tanpa berkontradiksi dengan keadilan sosial, kemanusiaan dan kesetaraan gender.
Perempuan adalah Ibu bagi Kehidupan