Tak henti-hentinya publik membicarakan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi yang telah selesai digelar. Alasannya adalah kubu Jokowi-Ma'aruf menghadirkan salah satu saksi ahli yang membuat kita membisu mendengarkan setiap kata-kata indah dalam kesaksiannya.
Penataan tata bahasa dan kayanya kosakata, membuat penonton ingin terus melihat dan mendengar sang profesor terus menerus mengeksplorasi setiap argumentasi yang dibangun oleh Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi.
Bagi kaum awam yang tidak mengenal hukum, kehadiran Profesor Eddy di sidang sengketa Pilpres merupakan sebuah pelajaran berharga. Bagi mereka yang sedikit tahu tentang hukum, ini adalah pelajaran dan kuliah tambahan. Sedangkan bagi pendukung Jokowi-Ma'aruf, Prof Eddy adalah malaikat yang ditunggu.
Namun, jika hanya kosakata dan tata bahasa indah yang menarik dari sang profesor maka sang profesor diibaratkan sebagai tong kosong nyaring bunyinya. Artinya, apa yang telah disampaikan tidak memiliki isi dan tidak termasuk dalam dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, perlu diketahui beberapa hal menarik yang benar-benar dimiliki oleh sang profesor dan itu menakjubkan. Artinya, Profesor Eddy bukan sekedar membual tetapi menunjukkan dirinya sebagai seorang guru besar yang bukan hanya kaya ilmu pengetahuan tetapi termasuk karakter.
Pertama, Profesor Eddy selalu menggunakan tutur kata yang halus dan sopan. Mencermati setiap kata yang dilontarkan oleh sang profesor, benar-benar menyejukkan hati dan santun terhadap hakim dan pihak termohon.
Walaupun sang profesor sempat dianggap tidak memiliki dasar pengetahuan tentang pemilu oleh Bambang Widjojanto, ia tetap membalasnya dengan sopan dan mengatakan bahwa seorang profesor pasti mengetahui dan memahami ilmu dasarnya.
Kemudian ia mengatakan bahwa sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi bukan panggung untuk membahas tentang pengetahuan dan jurnal-jurnal yang telah ia ditulis.
Suatu sikap yang sangat luar biasa oleh profesor. Memulai dengan tenang, santai dan santun hingga akhir sidang. Hal ini mempengaruhi lawan yang cenderung berbicara dengan kata-kata kasar dan tidak santun. Benar sekali, Bambang Widjojanto tidak berkata-kata setelah ini.
Kedua, Tidak menyerang personal. Pada saat Bambang Widjojanto mengatakan bahwa Profesor Eddy tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang pemilu secara tidak langsung ia mengatakan bahwa "Kenapa aku harus setuju dengan pendapatmu? Kamu kan bukan profesor pemilu."