Lihat ke Halaman Asli

Neno Anderias Salukh

TERVERIFIKASI

Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Anak Malu-malu, Perilaku Bermasalah bagi Guru di Desa

Diperbarui: 24 Maret 2019   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malu-malu adalah wajar selagi tidak merugikan diri sendiri atau orang lain tetapi bermasalah jika merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Perilaku anak yang bermasalah selalu jadi masalah bagi orang tua di rumah dan guru di sekolah. Namun, Merupakan tanggung jawab orang tua atau guru sebagai konselor untuk menolong anak tersebut meninggalkan perilaku yang dianggap bermasalah. 

Beragam perilaku anak tidak dapat ditangani dengan metode yang sama. Setiap perilaku ditangani dengan metode yang kira-kira dapat menolong anak meninggalkan perilaku tersebut dengan mengenal karakter anak. Itu yang terus dilakukan oleh orang tua maupun guru. Akan tetapi, orang tua atau guru harus mengakui bahwa terkadang mereka kewalahan dalam menangani perilaku anak jika tidak ada perubahan yang sesuai dengan ekspektasi guru.

Salah satu perilaku yang bermasalah bagi guru di sekolah adalah murid yang malu-malu. Di beberapa sekolah termasuk sekolah tempat saya mengajar, malu-malu begitu akrab dengan anak-anak terlebih anak-anak perempuan. Anak laki-laki masih di bilang sedikit yang dapat dihitung dengan jari sedangkan anak perempuan dikatakan rata-rata memiliki perilaku ini.

Namun, keadaan ini yang dialami saya sendiri sebagai guru laki-laki. Berbeda dengan apa yang dialami guru perempuan. Malu-malu hanya terjadi pada awal perkenalan selanjutnya tidak ada lagi. Malu-malu ini juga terjadi ketika melihat orang baru, melakukan hal-hal baru dan menghadapi orang yang dianggap tidak ada dalam level mereka.

Saya sudah hampir 7 bulan bingung dan bertanya-tanya mengapa mereka seperti ini.
Saya sering kali bertemu dengan mereka di jalan. Yang mereka lakukan adalah menghentikan perjalanan atau berjalan melalui pinggir jalan sambil menutup muka. Bahkan, ada yang lari menghindar atau bersembunyi dari pandangan.

Di sekolah, menyuruh mereka melakukan hal baru yang tidak wajib, mereka memilih untuk tidak melakukannya daripada harus menanggung malu karena mereka menganggap hal itu tidak biasa bagi mereka. Hal yang seharusnya tidak perlu mereka lakoni.
Mereka akan melakukannya jika itu adalah kewajiban.

Oke, malu-malu tidak masalah jika itu tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Akan tetapi, kebanyakan dampaknya adalah minimnya komunikasi/sosialisasi dengan guru dan tidak ada partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan di sekolah. Akibatnya, anak-anak kurang berpengalaman, tidak memiliki mental yang baik. Secara tidak langsung, perilaku ini merugikan diri mereka sendiri.

Lalu masalahnya bagi guru apa? Masalahnya adalah tidak ada seorang guru yang menghendaki siswanya menjadi orang bodoh yang tidak berpengalaman. Ia ingin siswanya memiliki mental yang bagus dan menjadi siswa yang hebat. Jadi jika siswa terus memupuk budaya malu, ini menjadi masalah bagi guru.

Sejujurnya, saya sendiri kesulitan dalam menghadapi anak-anak seperti ini. Sehingga saya tertarik untuk melihat penyebab utama anak malu-malu.

Pertama,Budaya merupakan salah satu kebiasaan yang terus dipupuk dalam masyarakat. Malu-malu sesuai dengan penjelasan saya tadi, memang wajar jika tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Dalam budaya Timor-Amanuban, malu-malu ini sering terjadi kemudian berkembang menjadi budaya. Salah satunya adalah budaya makan. Karena malu, maka makan saja perlu bujukan atau rayuan maut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline