Hati saya betul-betul hancur siang itu. Murid saya, anak remaja laki-laki yang baru duduk di kelas 2 SMP itu menangis di meja kerja saya. Dia sering diledek banci oleh teman-temannya. Tingkah lakunya sehari-hari memang agak kemayu seperti anak perempuan. Tapi saya baru tahu beratnya beban mental yang dia tanggung saat dia menangis di depan saya. Sudah tidak kuat, katanya.
Sebagai guru dan wali kelas, terus terang saya bingung menghadapinya. Hampir setiap angkatan, ada saja murid laki-laki saya yang punya masalah seperti ini. Punya perangai feminin, dan akhirnya jadi bahan ejekan teman-temannya. Tadinya saya suka menasihati anak murid saya yang seperti ini untuk mengubah perangainya menjadi lebih laki-laki, supaya dia tidak diejek lagi. Tapi ternyata tidak semudah itu. Perilaku femininnya sama sekali tidak dibuat-buat, sehingga sulit dihilangkan. Kalau pun ada yang berkurang kemayunya, dia mengaku itu dipaksakan dan pura-pura saja. Anak yang menangis di meja kerja saya siang itu, dia menangis karena berusaha mengubah perangainya, namun terlihat dibuat-buat sehingga malah semakin diledek oleh teman-temannya.
Saya pernah berkonsultasi dengan kawan saya yang berprofesi sebagai psikolog mengenai masalah ini. Menurutnya, sifat banci kurang lebih sama seperti autis, merupakan kondisi bawaan yang sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti maupun penyembuhannya. Meski pun tidak lazim, banci sebenarnya tidak mengganggu atau membahayakan secara kejiwaan. Yang berbahaya justru ejekan yang mereka terima, yang bisa berakibat depresi dan gangguan kejiwaan lainnya seperti dorongan untuk bunuh diri.
Memang ada banci yang dibuat-buat seperti di televisi untuk lucu-lucuan, saya kira itu lah yang tidak disukai dalam agama. Sementara anak-anak seperti murid saya sama sekali tidak dibuat-buat perangainya, sehingga bagaimana bisa saya menyalahkan mereka?
Kalau boleh memilih, saya yakin tidak ada orang yang mau terlahir sebagai banci. Anak-anak murid saya pun saya yakin tidak pernah memilih untuk menjadi banci. Tapi itu merupakan sifat bawaan mereka, yang sampai menangis pun mereka tidak bisa mengubahnya. Mungkin saja di masa depan nanti akan ada penemuan baru untuk mengobati perilaku banci, atau autis, atau gangguan psikologis lainnya. Tapi sampai saat itu tiba, tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk mengubahnya. Mungkin bisa sedikit mengurangi, tapi tidak bisa mengubah sepenuhnya. Yang harus berubah itu justru kita, sikap kita yang selama ini jahat dan tidak peduli pada tekanan batin yang mereka alami setiap hari.
Saya serukan kepada kita semua, mari berhenti mengejek dan mem-bully anak laki-laki yang berperilaku feminin. Khususnya di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak, bukan hanya secara fisik tapi juga psikis. Para guru harus ikut mengambil bagian aktif dalam menghentikan bully jika terjadi pada anak didiknya. Kalau kita punya kampanye untuk berhenti mengejek anak autis, atau anak dengan kekurangan lainnya baik fisik maupun kejiwaan, mengapa tidak ada kampanye untuk berhenti mengejek anak lelaki yang feminin? Perilaku feminin sulit dihilangkan, tapi ejekan bisa dihilangkan. Kata-kata yang jahat dan menyakitkan bisa dihilangkan.
Jika ada yang punya pengalaman sama dalam menghadapi anak didik, atau mungkin anak sendiri yang berperilaku feminin, saya akan berterima kasih sekali kalau Anda sekalian mau berbagi cerita dan tips menghadapinya. Tentu kita semua ingin yang terbaik bagi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H