Bandung, Februari 2021...
"Kami ucapkan selamat sore dan selamat datang kepada seluruh penumpang kereta api Argo Parahyangan. Saat ini perjalanan anda telah sampai di stasiun Bandung. Bagi anda yang ingin mengakhiri perjalanan di stasiun Bandung, kami persilahkan untuk segera turun. Sebelum turun periksa dan teliti kembali barang bawaan anda, jangan sampai ada yang tertinggal ataupun tertukar didalam rangkaian kereta. Kami ucapkan terimakasih atas kepercayaan anda telah menggunakan jasa angkutan kereta api". Alhamdulillah, tak terasa tiga setengah jam perjalanan dari Banjar ke Bandung membuatku tertidur pulas, suamiku bergegas membangunkanku dan bersiap untuk turun. Kamipun langsung menuju rumah Bibi yang terletak di daerah Sukajadi dengan menggunakan Gocar, untuk memudahkan kami agar langsung sampai ditempat tujuan tanpa naik turun angkot, karena dari stasiun ke rumah bibi harus menggunakan dua angkot dengan jurusan berbeda. Sesampainya dirumah bibi kami disambut oleh bibi dan anaknya yang pertama. Kebetulan bibiku juga dalam keadaan mengandung dan usia kandungannya menginjak usia tujuh bulan. Pamanku jika sore seperti ini mungkin dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya. "Besok jadi jadwal cek AMHnya La?" tanya bibiku. Akupun menjawab iya, dan aku sengaja berangkat sehari sebelumnya agar bisa beristirahat dulu sebelum pemeriksaan.
***
Banjar, Satu tahun yang lalu...
"Mas, aku rela kalau kamu mau nikah lagi. Aku bukan wanita sempurna mas, aku belum bisa memberimu keturunan". Dengan berlinang air mata aku ungkapkan hal tersebut kepada suamiku. "Kamu harus punya keturunan, kamu anak satu-satunya bapak sama ibu. Siapa yang akan menjadi penerus kamu nanti mas". Suamiku hanya diam dan merangkulku. "Rumah tangga bukan sekadar tentang punya anak dek, bagaimanapun keadaan kamu aku akan tetap bersama kamu. Suka dan duka kita lewati sama-sama, kamu yang menemaniku dari awal sampai titik ini, urusan tentang anak kita serahkan saja sama Allah. Kita hanya diwajibkan ikhtiar, hasilnya terserah Allah saja. Kita ambil hikmah atas apa yang menipa diri kita saat ini, mungkin Allah punya rencana yang lebih indah". Dia mencium kepalaku, aku tau meski dia tak menampakan, dalam hatinya suamiku menangis.
Kali ini kesempatan kedua kucoba membujuk suamiku untuk menikah lagi "Mas, kamu mau ya nikah lagi? Kamu kenal Litta kan, sahabatku waktu SMA? Kamu udah beberapakali ketemu sama dia, dia belum menikah sampai sekarang, mau ya aku jodohkan sama dia? Atau kamu ada nggak perempuan yang kamu sukai? Ya mas ya, mau ya?". Mungkin kali ini aku terlalu banyak bicara sehingga emosi suamiku agak sedikit tersulut. "Sudahlah dek, kamu jangan maksa mas terus untuk nikah sama permpuan mana pun, ini tak akan merubah keadaan. Kamu kan tau juga hasil tes sperma mas menderita teratozospermia, bukan kamu saja yang Allah uji dek, tapi mas juga. Kita sama-sama nggak sempurna. Sudahlah jangan selalu menyalahkan diri sendiri. Pokoknya mas nggak mau nikah lagi titik". Diapun beranjak dari kursinya menuju kamar. Akupun merasa bersalah dan segera menghampirinya. Kulihat dia sedang tertunduk lesu dengan memejamkan mata di ujung jendela kamar. "Maafkan aku mas, aku hanya ingin kamu punya anak saja, aku ingin ayah sama ibu punya cucu dan tidak memahami perasaanmu, maafkan aku ya mas". Dia tetap tak bergeming. Tak terasa airmataku juga luruh, dan akhirnya suamikupun kembali merangkulku dan membisikan kata-kata penguatan untuk kami berdua.
Meskipun sambil becanda kucoba terus sampai tiga kali kesempatan kusampaikan niat agar suamiku menikah lagi, tetap saja jawabannya sama. Dalam hati aku bersyukur mendapatkan suami yang benar-benar mencintaiku dan menerimaku apa adanya. Akhirnya kamipun berencana mengadopsi anak. Namun saat kami mengusulkan akan mengadopsi anak, ibu mertuaku menolaknya. Alasanya takut kami tidak bisa menyayangi seperti anak sendiri, dan akhirya takut malah menjadi dosa. Mendengar keputusan itu kamipun tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa pasrah. Aku sudah sangat bersyukur mendapatakn suami yang menerima aku apa adanya. Begitupun ayah dan ibu mertuaku yang menerimaku, walaupun sesungguhnya aku tak pernah tau isi hati mereka. Aku percaya bahwa mereka benar-benar tulus menyayangiku.
***
Banjar, Sepuluh Tahun yang lalu...
Namaku Putri Mandalawangi, entah apa maksud dari nama itu. Yang pasti setiap orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, termasuk memberikan sebuah nama yang didalamnya mereka selipkan do'a dan harapan yang paling baik untuk kebahagiaan anaknya. Aku terbiasa dipanggil Lala. Aku terlahir dari tiga bersaudara, kakak tertuaku seorang perempuan, namun dia menderita cacat mental sejak lahir, meskipun usianya lima belas tahun lebih tua dariku namun perilakunya seperti anak usia tiga tahun. Kakak keduaku seorang laki-laki kami terpaut usia tiga belas tahun. Seorang yang lembut, penuh kasih sayang dan dewasa. Sedangkan aku yang paling cerewet, periang, namun sering tak kuasa menahan tangis bila melihat sesuatu yang menyedihkan.