Saya menulis artikel ini bukan sengaja karena hari ini adalah Hari Mieiling Basa Indung Sadunya (dalam Bahasa Indonesianya adalah Memperingati Bahasa Ibu Sedunia). Saya juga baru tahu, bahwa hari ini, 21 Februari, adalah hari Mieling Basa Indung Sadunya, dari status teman-teman di Whatsapp. Tapi jadi kebetulan sekali, karena artikel saya kali ini akan membahas tentang Majalah Mangle, Majalah berbahasa Sunda, bahasa ibu saya.
Saya mengenal Majalah Mangle melalui ayah saya. Beliau berlangganan majalah berbahasa Sunda ini sudah sejak lama, di samping berlangganan Majalah Panji Masyarakat, Majalah Intisari, Koran Kompas dan Koran Pikiran Rakyat. Waktu itu saya masih di sekolah dasar. Sebenarnya saya sudah dibelikan majalah anak-anak Kawanku dan Majalah Bobo.
Entah kenapa saya ikut-ikutan membaca Majalah Mangle ini, dan terus membacanya sampai saya dewasa, kemudian berhenti setelah menikah apalagi setelah mempunyai anak, di mana waktu untuk membaca sudah dirasakan mulai terasa sempit, sekaligus juga sudah mulai menghemat pengeluaran.
Pada saat itu, Majalah Mangle terbit seminggu sekali, dan menanti seminggu itu rasanya lamaa sekali. Ketika ayah saya pulang dari Jakarta (beliau kerja di Jakarta, pulang ke rumah di Sukabumi seminggu sekali), saya tidak akan peduli oleh-oleh yang lain, yang pertama kali saya tanyakan, pasti Majalah Mangle, bahkan saking tidak sabarnya, sering sekali saya langsung membuka tas ayah saya, mencarinya sendiri.
Oh ya, sebelum lanjut, ada baiknya saya perkenalkan terlebih dulu sedikit tentang Majalah Mangle ini.
Majalah Mangle, adalah majalah mingguan berbahasa Sunda, yang diterbitkan oleh PT. Mangle Panglipur, didirikan di kota Bogor, Jawa Barat, pada tahun 1957. Mangle sendiri artinya ranggeuyan kembang dalam Bahasa Sunda, atau untaian bunga dalam Bahasa Indonesia. Ide namanya dicetuskan oleh Bapak Wahyu Wibisana, yang merupakan salah satu pendirinya.
Para pendirinya yang lain adalah: Oeton Moechtar, Rochamina Sudarmika, Sukanda Kartasasmita, Saleh Danasasmita, Utay Muhtar, Alibasah Kartapranata, dan Abdullah Romli.
Dalam sejarah media Bahasa Sunda, Majalah Mangle ini termasuk yang paling eksis, terbukti sampai saat ini masih tetap bertahan, masih terbit, meskipun dari awalnya terbit seminggu sekali, hanya menjadi satu bulan sekali.
Pada tahun 1962, kantor Majalah Mangle pindah ke Kota Bandung, dengan pertimbangan Kota Bandung adalah pusat budaya dan pemerintahan di Provinsi Jawa Barat.
Pada tahun-tahun sebelum jaman serba online dan serba digitaal, Majalah Mangle ini pernah mengalami masa kejayaannya, dengan oplag yang terus meningkat dari wkatu ke waktu, dan sudah mendapatkan tempat serta simpati di hati masyarakat Jawa Barat pada umumnya, termasuk saya dan ayah saya.
Total halaman Majalah Mangle ini sendiri sebenarnya tidak begitu banyak, jamannya saya dulu, kalau tidak salah, hanya terdiri dari sekitar 20 halaman saja. Dengan sampul yang sederhana, biasanya foto wanita cantik, lalu halaman artikel dicetak dengan menggunakan kertas tipis.