Rasa-rasanya aku tidak akan pernah bosan mengenang masa kecilku. Tidak seluruhnya indah, tidak seluruhnya bahagia, tapi sampai saat ini, di mana aku telah puluhan tahun menua bersama waktu, aku masih suka terkenang-kenang akan masa-masa kecilku itu. Aku suka dengan sengaja mengingat-ingatnya, dan seandainya saja diibaratkan sebuah buku, aku begitu rajin membuka lembar demi lembarnya. Dan kenangannya itu, ada yang masih terekam dengan begitu jelasnya, seolah-oleh baru saja berlalu hari kemarin, tetapi ada juga yang sudah samar-samar untuk aku ingat.
Aku lahir dan besar di sebuah kabupaten di provinsi Jawa Barat, bernama Sukabumi, di sebuah kampung di kaki Gunung Gede. Tahun-tahun yang sudah bisa aku ingat dengan jelas adalah ketika aku sudah berusia sekitar 5 tahunan. Pada saat itu (sekitar tahun 80-an), masih jarang orangtua yang memasukkan anaknya untuk masuk ke sekolah TK, begitu juga dengan orangtuaku. Bukan karena waktu itu tidak ada sekolah TK, tetapi satu-satunya sekolah TK yang ada saat itu, adalah sekolah TK yang berada di kompleks perusahaan perkebunan teh yang jaraknya kira-kira 5 kilo meter dari kampungku, dan sepertinya hanya para staf perusahaan perkebunan teh saja yang mendaftarkan anak-anaknya bersekolah di TK tersebut
Jadi sebelum masuk sekolah SD itu, kegiatanku sebagai anak kecil ya cuma main-main di rumah, kalau di luar rumah, ya bermain bersama anak-anak tetangga, atau bersama-sama anak-anak yang masih saudara yang rumahnya berdekatan. Seringnya aku bermain di dalam rumah saja, menemani nenek menjahit, aku bermain-main di dekatnya dengan boneka-boneka kain buatan nenekku itu.
Barulah setelah aku masuk sekolah dasar, kegiatanku agak banyak, selain pergi ke sekolah pada pagi harinya, siang harinya setelah dzuhur, pergi ke sekolah agama sampai ashar. Maghrib pergi mengaji ke pondok pesantren dekat rumah sampai waktunya shalat isya, subuhnya mengaji lagi di tempat yang sama, setelahnya pulang ke rumah buat bersiap kembali pergi ke sekolah dasar..
Jarak sekolah dari rumahku sekitar dua kilo meter. Aku bersama-sama teman-teman satu sekolah, pulang pergi berjalan kaki, mana pernah naik angkot, dan mana pernah pula diantar jemput orangtua seperti layaknya anak-anak sekolah dasar jaman sekarang. Kehujanan dan kepanasan buat kami anak-anak kampung sudah menjadi hal biasa.
Setelah agak besar, kira-kira setelah menginjak bangku kelas tiga, di mana aku dan teman-teman sudah bisa dikatakan berani, pulang sekolah sudah mulai mencoba-coba untuk melewati jalan pulang yang tidak seperti biasanya. Kalau biasanya pulang pergi melewati jalan yang sama, jalan aspal tempat dilaluinya angkot-angkot, maka semenjak itu, aku dan teman-teman pulang dengan berbelok ke pesawahan, yang nantinya akan berujung di belakang rumah kami. Kalau pas melewati kebun timun yang buahnya siap dipetik, tidak jarang kami memetiknya barang satu atau dua buah, sambil tungak-tengok ke kanan dan ke kiri ke depan depan ke belakang, takut ketahuan yang punya kebun, namanya juga tanpa izin, hehehe. Seperti syair sebuah lagu anak-anak, “si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun”, hahaha.
Yang paling sering aku ingat karena memang aku suka mengingat-ingatnya adalah ketika bermain-main bersama teman-teman di sore hari sepulang dari sekolah agama. Kami sering main bola kasti di petakan sawah yang tidak begitu jauh dari rumah, yang baru selesai dipanen, di mana air sawah itu sudah kering, sawahnya ditutupi dengan jerami yang dibabat, sehingga kalau jatuh tidak sakit karena tubuh kami jatuh di tumpukan jerami tersebut. Tentu saja badan kami jadi kotor, gatal-gatal, jadi setelahnya kami akan nyebur rame-rame mandi, di kolam milik salah satu tetangga, sampai air kolamnya lecek, bahkan ikan-ikannya pun mati pada mabok. Kami akan segera naik dan lari tunggang langgang setelah pemilik kolam berteriak-teriak marah sambil mengacung-ngacungkan sapu dari arah rumahnya.
Setelah berganti pakaian, sebelum maghrib pun aku sudah tiba di kompleks pondok pesantren tempatku mengaji, dan karena masih punya banyak waktu, biasanya aku dan teman-teman akan duduk-duduk di tepi kolam dekat pondok para santri, mengobrol bersenda gurau menantikan adzan maghrib memanggil dari pengeras suara mesjid yang menandakan kami harus segera masuk ke madrasah tempat kami akan belajar mengaji dan shalat maghrib berjama'ah. Kami anak-anak perempuan memang tidak shalat di masjid, tetapi shalat di madrasah diimami oleh ibu ustadzah. Yang anak laki-laki, baru shalat berjama’ah di masjid.
Di saat menantikan waktu maghrib itu, di mana senja akan segera berganti malam, tidak jarang aku menyaksikan keindahan alam yang sampai saat ini, keindahannya itu, buatku tetap masih menakjubkan. Di sebelah barat sana, aku melihat matahari akan segera tenggelam, langit dengan cantiknya berwarna jingga, angin berhembus semilir, burung-burung bercicit, kelelawar bergerombol beterbangan, binatang-binatang yang biasa keluar pada saat-saat senja pun berlomba memperdengarkan suaranya. Dan kalau sedang beruntung, aku akan melihat pelangi indah terbentang di langit di atasku. Keindahan itu tak hanya aku dapatkan di sekitar situ saja, kalau aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sejauh yang dapat aku tangkap dengan penglihatan mataku, aku akan disuguhi keindahan alam kampungku, anugerah Tuhan, Sang Pencipta.
Rumah-rumah permanen dan semi permanen berbaris rapi di sepanjang pinggir jalan aspal, yang rata-rata tidak berpagar. Setiap rumah mempunyai halaman yang cukup luas, yang rata-rata ditumbuhi pepohonan dan bunga-bungaan warna-warni yang mempesona, yang tidak jarang di antaranya menyebarkan semerbak harum mewangi.
Mengingat itu semua, tidak jarang aku mengkhayal ingin kembali ka masa kecilku itu. Kenanganku itu begitu abadi, dan aku menyiapkan sebuah ruang khusus dalam hatiku untuk menyimpannya