"Arrrhhhhh...!"
"Sayang, ada apa? Kenapa? Mimpi buruk lagi ya!?"
Sekuat tenaga kukumpulkan kesadaranku sambil tak melepaskan cengkraman di lengan suamiku. Aku tak tahu sejak kapan jemari ini menempel di sana. Sepertinya wajah kekhawatiran suamiku bercampur perih karena kuku-kuku jariku menusuk lengannya.
"Aku .... Aku ...." Hanya itu yang mampu keluar dari bibirku.
Keringat mengalir dari dahi hingga daguku. Rambutku pun basah. Pelan kumulai mengatur napasku sambil membalas tatapan lelaki yang tak pernah sedikit pun memalingkan mukanya dariku ini.
"Minum dulu, Sayang," katanya lembut sambil menyodorkan botol minum ukuran satu liter yang selalu tersedia di meja sebelah tempat tidur kami.
Kusambut botol itu dan mulai menenggak isinya perlahan. Diam. Setelah air mineral itu membasahi tenggorokanku, aku hanya diam, mencoba berlalu dari tatapannya. Entahlah. Setiap mimpi itu kembali, yang ingin kulakukan hanyalah menghindar. Menjauh dari tatapannya, berlalu dari tanyanya. Selama ini suamiku hanya bisa menebak dan menerka-nerka apa yang kualami. Asumsinya bahwa aku bermimpi buruk setiap kali aku terbangun dengan histeris seperti ini. Setiap kali pula tak kuberikan jawaban memuaskan untuknya.
"Enggak apa-apa, Ayah," jawabku setiap hal itu terjadi.
Entah sudah berapa kali kejadian ini kualami. Yang kuingat hanyalah sejak aku menempatkan harapanku lebih tinggi dari sebelumnya, saat itulah mimpi-mimpi buruk ini menyapaku. Malam itu, untuk kesekian kalinya, bibirku kelu tak mampu menjelaskan apa pun yang di hadapan orang yang kucintai.
"Sayang," sapanya lembut, seperti biasa.
"Ya, Ayah," jawabku pelan.