Lihat ke Halaman Asli

Neng Yayas Ismayati

Menulis, menjejakkan sejarah

Mami adalah Ibuku

Diperbarui: 24 Januari 2019   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Buah jatuh takkan jauh dari pohonnya. Begitu kata pepatah. Begitu pula aku dengan perempuan yang seumur hidup kupanggil Mami. Ya benar, Mami adalah ibuku.

Usia kami terpaut cukup jauh yakni sekira tiga puluhan tahun. Sejauh ini aku tak pernah mempermasalahkan perbedaan usia di antara kami. Walau kuakui terkadang ada hasrat ingin tahu menyeruak dalam benakku alasan Mami melahirkan aku pada saat usianya sudah menginjak tiga puluh. Entahlah. Aku tak pernah benar-benar merasa perlu untuk mengetahuinya.

"Sayang, hari ini ada bazzar buku lagi lho di mal. Nanti sore kita ke sana yuk!"

"Beneran Mam? Oke deh, kita ke sana pulang les ya Mam," jawabku setelah menghabiskan tegukan terakhir  jeruk hangat yang mendorong roti isi sarapanku ke arah lambungku.

"Tentu dong, hati-hati ya, Sayang." Mami mengantar aku sampai pintu mobil dan lambaian lembut Mami di kaca sepion mobil mungilku menghilang begitu pagar tinggi ini kulewati.

Sesuai janji, Mami dan aku asik masyuk di arena bazaar buku di mal sampai malam membuka tabirnya. Tak terasa, setampuk buku yang kupikir akan memuaskan hasratku membacanya sudah memenuhi jok belakang mobil keluarga yang kami naiki. Sambil menyetir mobil kesayangannya, Mami tak pernah berhenti bercerita. Kadang aku bertanya-tanya dalam hati, dari mana Mami punya bahan cerita sebanyak itu. Tapi aku menyukainya.  Setiap kata yang terucap dari mulut Mami tak pernah luput dari perhatianku.

Aku ingat, pernah Mami bercerita tentang masa kecilnya dulu di kampung. Mami sangat menyukai hujan. Mami mencintai hujan. Rintik-rintik, gerimis, bahkan deras. Waktu pulang sekolah, bukannya berteduh, Mami tetap pulang di bawah guyuran hujan. Kalau sedang di rumah, Mami Kecil akan bermain perosotan air hujan di teras rumah atau sengaja mencuci peralatan dapur dengan air hujan yang mengalir dari cucuran atap rumah. Tapi menurut Mami, saat yang paling berkesan yakni ketika kita memandangi hujan dari balik jendela. Pikiran kita seakan berlari menerjang hujan, menari di bawah hujan, lalu mengalir lewat celah-celah aliran air tanah.

"Air itu sangat kuat, Sayang, mampu menerjang apapun penghalang di depannya. Air juga lembut, dengan kelembutannya dia mampu mengembalikan kesegaran bunga yang merana terpanggang matahari," jawab Mami saat kutanya alasannya.

"Tapi Mam, kalau lagi deras-derasnya, hujan kan menakutkan. Petir yang menyambar-nyambar bagai lidah api yang haus mangsa, belum suara gemuruh dan gelegar di langit yang selalu mengagetkan dan membuat jantung setiap orang berlari kencang seperti mau keluar dari tubuhnya," protes aku saat itu.

"Benar Sayang. Tapi itulah hujan, yang diciptakan Tuhan untuk manusia, agar manusia berpikir," jawab Mami mengakhiri perbincangan.

Tapi rasa penasaran itu selalu muncul, setiap ada kesempatan, pasti selalu kutanyakan alasan Mami mencintai air hujan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline