Lihat ke Halaman Asli

Penerapan Kaidah Fiqhiyyah Furu'iyah dalam Fatwa DSN-MUI

Diperbarui: 23 November 2023   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Aplikasi Kaidah Fiqhiyyah Furu'iyah “Al ashlu fil asy yaai al ibaahatu hatta yadullu addaliilu a'lattahriim” dalam Fatwa DSN-MUI

‘Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya’

 

            Kaidah Fiqhiyyah Furu’iyah merupakan kaidah-kaidah yang dikategorikan sebagai kaidah yang berada di luar kaidah pokok. Sementara kaidah ini juga sering disebut sebagai kaidah cabang (terjemahan kata far’un) dari kaidah pokok tersebut. Para ulama telah sepakat dengan lima kaidah pokok. Kecuali ada ulama yang menambahkannya sehingga jumlahnya menjadi enam buah kaidah.

            Terdapat beberapa pembagian dalam menjelaskan kaidah fiqhiyyah selain kaidah pokok tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai kaidah yang umum (Qaidah Ammah) yang berlaku pada semua bidang fikih. Ada pula kaidah yang hanya berlaku pada satu bidang tertentu saja, seperti muamalah atau ibadah. Selain itu, kaidah kulliyah juga sering digunakan ulama. Sementara, ada kaidah fiqhiyah yang disepakati satu mazhab, tetapi tidak diakui oleh mazhab yang lain. Ada pula kaidah fiqhiyyah yang dalam satu mazhab saja diperselisihkan

            Kaidah ini merupakan kaidah furu’ dari kaidah fiqhiyyah “Al Yaqinu la yuzalu bi syakk”.  Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia, mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.

Penerapan kaidah Al ashlu fil asy yaai al ibaahatu hatta yadullu addaliilu a'lattahriim dalam fatwa DSN-MUI :

  • Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 139/DSN-MUI/VIII/2021 tentang Pemasaran produk asuransi berdasarkan prinsip syariah.

Dalam fatwa ini terdapat kaidah furu’ yaitu “Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Fatwa ini dijelaskan bahwa, pemasaran produk asuransi syariah di perbolehkan namun, perusahaan wajib menghindari hal-hal yang bertentangan dengan prinsip syariah seperti riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, ighra,taghrir, risywah dan unsur haram lainnya. Selain itu perusahaan juga harus menjalankan usahanya dengan tetap melihat nilai-nilai syariah.

  •  Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 146/DSN-MUI/XII/2021, tentang Online shop berdasarkan prinsip syariah.

 Dalam fatwa ini terdapat  kaidah furu’ “Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 

Melalui isi fatwa ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukakn transaksi dengan menggunakan platform online shop diperbolehkan dengan syarat tetap mengikuti ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan syariat islam.

 

  • Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 135/DSN-MUI/V/2020 tentang Saham.

Terdapat kaidah furu’ dalam fatwa ini, yaitu “Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 

Pendapat Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 3, h. 1 841 :

"Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra (kongsi) dalam perseroan (perusahaan) sesuai dengan saham yang dimilikinya.

Berdasarkan pendapat di atas dan dari isi fatwa ini, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa persekutuan modal dalam Perseroan Terbatas menggunakan akad  syirkah musahamah sejatinya diperbolehkan, namun harus sesuai dengan ketentuan syariah islam yang ada didalam fatwa ini.

 

Kesimpulan :

       Berdasarkan pembahasan diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya kaidah furu’ yang kita gunakan dalam pembahasan kali ini merupakan bagian dari kaidah fiqhiyyah ke 2 yaitu al yaqinu la yuzilu bi syakk yang mencerminkan bahwa agama islam merupakan agama yang tidak memberatkan umatnya karena berisi tentang kemudahan dan keleluasaan dalam banyak hal contohnya dalam muamalah.

 

Nengsih Agustin

Akuntansi Syariah

STEI SEBI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline