Keretaku telah tiba, di stasiun tujuan, pada jam pulang kerja. Aku mendengar langkah-langkah kaki yang terburu-buru, sambil menghitung jejak-jejak peluh, berhamburan bersama penat yang menggigit.
Aku merasakan hembusan napas yang memburu. Bersama angin yang berisik. Seperti menahan perih yang menusuk. Bukan di lambung meski perut-perut menjerit kelaparan. Perih yang dirasa ini, tertikam oleh keangkuhan. Mematikan hati nurani, yang perlahan hilang bersama kesombongan.
Mulut-mulut ramai membicarakan. Lidah-lidah berdansa di ujung gelisah. Ada tanya kala rangkaian kata menari mengulikmu. Tentang tatapan mata yang bagaikan busur panah. Melesak menembus hati. Mengoyak rasa kemanusiaan, yang saat itu seketika mati.
Tangan yang merekam. Tendangan yang membabi buta. Pukulan yang bertubi-tubi. Sumpah serapah yang berhamburan bersama lengkingan tawa. Membiarkan tubuh yang terkapar bersimbah darah. Tidak bergeming. Di antara hidup dan mati.
Bibir kelu. Tidak bisa berkata-kata. Ketika anak muda terjerembab oleh amarah. Tidak ada penyesalan dalam sorot mata. Tiada kata maaf terucap dari mulut. Kau hanya diam. Entahlah, apakah kau merenungi kesadisanmu?
Kaki-kaki melangkah keluar peron. Menuju pulang. Meninggalkan sepi di ujung malam. Menyisakan lara yang usang diterjang gelombang waktu. Luka-luka hati yang menganga. Tersayat syahdu. Layu.
Kereta pun melaju, meninggalkan sedu sedan, bersama semua luka, yang tercabik mengiris setiap waktu. Aku menangis, dalam relung hati. Kembali kepadaMu. Hamparkan sejadah. Bersujud. Memohon ampunan. Agar selalu dalam perlindunganMu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H