Mumpung lagi ramai soal harga tiket naik ke Candi Borobudur yang mencapai Rp750.000, saya ingin bercerita tentang perjalanan saya ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Bukan hanya sampai pelatarannya, tetapi naik sampai ke candi yang didirikan semasa pemerintahan wangsa Syailendra itu.
Alhamdulillah, ketika saya berkunjung ke Candi Borubudur bersama teman-teman Kompasiana tahun lalu, kami berkesempatan naik ke Candi Borobudur. Tentu saja bersama petugas Balai Konservasi Borobudur.
Kami ke sini bukan untuk berfoto-foto atau melihat kemegahan Candi Borobudur. Melainkan melihat lebih dekat relief-relief di candi. Apa kisah dari pahatan relief-relief tersebut. Terutama mengenai alat-alat musik pada zaman Budha yang masih ada hingga kini.
Dalam dinding Candi Borobudur ini ada 1.460 panel relief cerita dan 1.212 panel relief dekorasif. Di antaranya 226 relief alat musik yang terpahat pada 40 panel, menampilkan 40 alat musik dari penjuru Nusantara dan dunia. Mulai dari alat musik jenis tiup, petik, pukul, membran, hingga ansambel.
Petugas bernama Irwan Kurniawan lantas menunjukkan relief Candi Borobudur, yaitu pada relief Karmawibhangga, Lalitavistara, wadariaJtaka, dan Gandawyuha.
Di relief-relief ini terlihat lukisan alat-alat musik, antara lain suling, simbal, Lute, ghanta, cangka (terompet yang terbuat dari siput), saran dan gendang.
Kebetulan kunjungan kami ini berkaitan dengan kegiatan "Sound of Borobudur" yang digagas musisi Trie Utami bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Dari kunjungan ini saya baru menyadari pentingnya memaknai candi. Selama ini, ketika saya berkunjung ke candi, tidak saja Candi Borobudur, ya begitu saja. Hanya meninggalkan kenangan keindahan saja. Foto-foto deh.