Maret lalu kita dikejutkan oleh dua peristiwa yang mengganggu keamanan nasional. Pertama, peristiwa "bom bunuh diri" di gerbang Gereja Kathedral, Makassar, Sulawesi Selatan, pada 28 Maret 2021. Kedua, aksi "penyerangan" Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta pada 31 Maret 2021.
Mirisnya pelaku kedua aksi tersebut melibatkan perempuan dan masih berusia muda. Apakah ini mengindikasikan perempuan rentan terpapar paham radikal terorisme? Mengapa mereka bisa begitu rentan?
Sebenarnya, penyebaran paham radikal terorisme tak selalu menyasar masyarakat biasa. Karena ternyata, pegawai lembaga negara, kementerian, bahkan aparat keamanan pun tak luput dari pengaruh paham negatif ini.
Jadi, siapa pun bisa terpapar. Ya polisi, ya TNI. Jangan dikira tidak bisa terkena paham seperti ini. Aparat keamanan ini saja yang sudah jelas-jelas mendalami karakter Pancasila, bisa saja terpengaruh, bagaimana dengan mereka yang warga sipil?
Setidaknya hal ini pernah juga dialami oleh Direktur Pencegahan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Brigjen R Ahmad Nurwakhid, jauh sebelum Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Saya saja yang jelas-jelas paham nilai-nilai Pancasila pernah terpapar paham radikal hingga hampir membuat saya berangkat ke Afganistan waktu itu," ungkap Ahmad Nurwakhid saat berbicara dalam Media Talk tentang 'Perlindungan Perempuan dari Paham Terorisme dan Ekstremisme', yang diadakan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) secara daring, Rabu (7/4/2021).
Pada sekitar 1995-1996, pemerintah saat itu belum mewaspadai soal terorisme. Lalu setelah peristiwa bom Bali pada 2002, negara baru memiliki UU Terorisme sehingga ia mulai berpaling dari paham radikal. Ia pun mulai sadar dan menjalan nilai-nilai Islam yang kaffah.
"Yang tadinya Islam dipahami sebagai iman Islam dan jihad, iman Islam dan khilafah, jadi tergantikan secara benar, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Iman, Islam, dan akhlakul kharimah atau iman, Islam, dan spiritual. Islam yang dipahami benar ya begitu," tandasnya.
Ia menjelaskan, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara kekerasan.
Sementara terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dan dapat menimbulkan korban yang bersifat massal.
Menurutnya, pemicu munculnya radikalisme dan terorisme adalah politisasi agama, pemahaman agama yang menyimpang, intoleransi, kemiskinan dan kebodohan, kesenjangan dan ketidakadilan, sistem politik dan hukum lemah, serta kondisi mental psikologi.