Lihat ke Halaman Asli

Tety Polmasari

TERVERIFIKASI

ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja

6 Tahun Jalani "Toxic Relationship", Begini Kisah Saya

Diperbarui: 28 April 2021   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi toxic relationship (kompas.com)


Jaman dulu kala, ketika saya masih kuliah, saya menjalin hubungan dengan teman seangkatan dan sejurusan. Ini pertama kalinya saya mengenal cinta, dan ini pertama kalinya juga saya menjalin hubungan dengan seorang pria.

Banyak teman yang tidak menyetujui hubungan saya dengannya. Terutama kawan-kawan saya yang berjilbab. Saya yang berjilbab tidak pantas menjalin hubungan "terlarang". Tidak ada kamus "pacaran" dalam Islam.

Sementara kawan-kawan perempuan saya yang lain ada yang setuju, ada juga yang tidak setuju. Penyebabnya karena dia berambut gondrong, perokok berat. Di mata kawan-kawan saya "tidak sholeh" sehingga dinilai tidak pantas buat saya.

Tapi yang namanya cinta, ya saya anggap angin lalu saja. Entah sudah berapa kali saya "disidang" diminta untuk mengakhiri hubungan saya dengannya. Tapi ya berlalu begitu saja. Mirip pepatah "anjing menggonggong kafilah berlalu" atau kata pepatah "tai kambing rasa cokelat".

Saya juga tidak tahu mengapa saya bisa  punya rasa padanya. Entahlah. Cinta datang begitu saja dan saya tidak kuasa membohongi perasaan saya sendiri. Tapi dalam pemikiran saya, suatu ketika pasti dia akan berubah ke arah yang "lebih baik". Lebih rapi dan tidak gondrong lagi.

Singkat cerita, hubungan ini saya rasakan lama-lama "tidak sehat" ketika dia sudah menerapkan beberapa "aturan". Seperti kalau sudah sore tidak boleh ke kantor atau kalau hari libur saya dilarang ke kantor atau menghadiri agenda pekerjaan. Jadi, dia selalu mengecek saya. Misalnya dengan menelepon ke kantor saya.

Pernah suatu ketika dia memarahi saya karena saya mau ke kantor sore. Ya wajar saja kan saya ke kantor sore karena siangnya saya kuliah. "Pulang nggak loe, nggak usah ke kantor. Sore-sore begini. Loe mau pulang jam berapa? Loe kan orangnya bego," katanya.

Dibilang bego, jelas saya marah. Ia pun meminta maaf kelepasan mengeluarkan kata yang menyinggung perasaan saya. Karena saya masih kesal, saya tetap ngotot mau ke kantor, meski akhirnya dia mengijinkan. Mungkin untuk menutupi rasa bersalahnya.

Ya, saat itu, kebetulan saya sudah bekerja, pekerjaan yang saya geluti hingga sekarang. Sebagai pekerja lapangan tentu saja jam kerjanya tidak tentu. Tergantung agenda kegiatan yang ditugaskan kantor. Kadang agendanya pagi, siang, sore, atau malam.

Sebagai "pendatang baru" jelas saya tidak bisa main membantah. Saya juga harus menunjukkan sikap profesionalitas dan loyalitas saya. Terlebih saya juga enjoy melakukannya. Pekerjaan ini sesuai dengan passion saya. Jadi tidak bisa juga dong saya menolak begitu penugasan yang diberikan.

"Aturan" lainnya, nanti ketika saya dan dia menikah, dia menginginkan saya jadi ibu rumah tangga saja, yang fokus mengurus rumah, suami, dan anak-anak kelak. Karena dalam pandangannya, tugas istri ya mengurus rumah tangga. Hmmm... permintaan yang cukup berat buat saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline