Pagi-pagi, Minggu (6/9/2020), saya dikunjungi tetangga saya yang persis di depan rumah saya. Yang memisahkan rumah saya dan rumahnya ya jalanan yang lebarnya kira-kira 4 meter. Ia membawakan sekotak plastik kue nastar aneka rasa.
"Assalamu'alaikum," katanya memberi salam. "Wa'alaikumsalam," balas saya sambil menghampiri ke depan.
"Wah, ada tamu penting," seru saya.
"Ini bu sebagai ucapan terima kasih buat bapak, Najmu, atas bantuannya kemarin," katanya seraya menyodorkan sekotak kue.
"Wah, sebenarnya nggak perlu ini. Nggak usah. Itu mah memang udah kewajiban saling membantu," kata saya tersenyum.
"Nggak apa-apa bu, ini titipan dari keluarga besar saya," ucapnya. Meski ia memakai masker saya bisa tahu dari sorot matanya ia tersenyum.
"Saya terima ya bu," kata saya. "Iya bu. Kalau ditanya ikhlas nggaknya, insyaallah ikhlas bu," katanya. Saya pun mengucapkan terima kasih dan tetangga saya pun mengucapkan hal yang sama.
Percakapan kami hanya sebentar. Itu pun hanya di pagar rumah saya. Tetangga saya ini menolak untuk saya ajak masuk. Mungkin karena keperluannya hanya sebentar, mungkin juga karena berusaha "menjaga jarak" sebagaimana dianjurkan di saat pandemi Covid-19.
Seminggu lalu, ibu dari tetangga saya ini, meninggal dunia. Bisa dibayangkan "repotnya" mengurusi jenazah di saat seperti ini. Meski almarhumah meninggal bukan karena Covid-19 tetap saja prosedur penangangannya harus sesuai dengan protokol kesehatan Covid-19.
Pihak-pihak yang mengurusi jenazah ibu tetangga saya ini memakai alat pelindung diri (APD) lengkap. Memakai masker, sarung tangan, pelindung wajah, dan baju hazmat. Dan, sesuai protokol kesehatan Covid-19, jumlah pelayat juga dibatasi.