Lihat ke Halaman Asli

Isti

https://zonapsiko.wordpress.com

Etiskah Menyalahkan Korban Perkosaan?

Diperbarui: 11 Mei 2016   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Hari Pendidikan Nasional kemarin, dunia pendidikan tercoreng oleh perbuatan cabul 14 remaja yang memerkosa dan lalu membunuh korban (Yuyun) di Bengkulu. Meski terlambat terungkap, kasus ini akhirnya memunculkan juga kasus serupa lainnya.  DI Gorontalo, pemerkosaan berjamaah  dilakukan oleh 15 lelaki terhadap seorang perempuan muda yang sebenarnya terjadi jauh sebelum kasus Yuyun, namun belum ditindaklanjuti kepolisian dengan alasan, laporan pihak korban diragukan kebenarannya.  Lagi-lagi, miras menjadi satu penyebab perbuatan bejad itu terlampiaskan. Di Karawang, baru-baru ini juga terjadi pemerkosaan ramai-ramai terhadap seorang ibu rumah tangga sementara suami korban disekap. Ditengarai pula, pelakunya dalam kondisi mabuk stelah menenggak miras. Mungkin, masih ada banyak korban kejahatan kelamin para lelaki bejad pengumbar syahwat di luar sana.

Betapa mengerikan dan menakutkannya peristiwa tersebut. Kok para lelaki itu layaknya binatang saja yang sesukanya mengumbar syahwat di sembarang tempat. Lebih-lebih, ketika mereka digelandang dan diinterogasi polisi, tak ada raut penyesalan sedikitpun tergambar dari wajah mereka. Mungkinkah efek dari seringnya minum miras sehingga otak dan pikirannya nggak genap lagi? Bisa jadi. Sebab miras, jika dikonsumsi dalam jangka panjang akan merusak otak peminumnya. Kemungkinan kedua adalah, karena mereka diinterogasi secara beramai-ramai sehingga mereka merasa bahwa kalaupun ia bersalah dan dihukum, toh bukan hanya dia tetapi banyak juga temannya. Barangkali akan berbeda kondisinya jika mereka diinterogasi secara terpisah. Jika masih saja cengengesan saat diinterogasi sendiri, berarti benar, isi otaknya sudah kurang seperempat atau bahkan mungkin setengahnya. Atau boleh jadi, hal tersebut hanya sebuah pengalihan untuk menutupi rasa gugup dan takutnya. Dan ini biasa terjadi pada para pesakitan atau tersangka kriminil.

Kasus Yuyun ternyata mengemuka luas ke publik sebagai dampak dari kekuatan media sosial di dunia maya. Berita tersebut kemudian menjadi viral hingga muncul simpatisme netizen dengan gerakan untuk mendukung diusutnya kasus Yuyun hingga tuntas, salah satunya berupa penggalangan dukungan dengan # NyalaUntukYuyun dan memperoleh ribuan dukungan. Dukungan ini diharapkan mampu membuka mata hati para penegak hukum  agar dapat menindak tegas para pelaku pemerkosaan dan mengambil langkah pencegahan terulangnya kasus serupa. Namun di balik dukungan dan simpati tersebut, masih ada saja suara-suara miring yang kerap menimpakan kesalahan pada pihak korban pemerkosaan. Pertanyaan dan komentar yang kedengarannya biasa saja namun mampu menusuk telinga dan hati korban kerap dilontarkan oleh kita tanpa mencoba memahami perasaan korban. Dalam kondisi apa pun, perempuan mana yang ingin mengalami peristiwa buruk; diperkosa? Betul bahwa sebaiknya kaum perempuan berpakaian yang sopan, tidak menampilkan lekuk tubuh dan mengumbar aurat. Tapi apakah itu melulu menjadi tanggung jawab perempuan? Lalu menjadi tanggung jawab siapa untuk menjaga mata dan syahwat para lelaki?  Jika kepada perempuan dituntut untuk menajaga pakaian dan penampilan, kepada kaum lelaki juga diharuskan menjaga pandangan. Tapi kalau sudah mabuk, mata merem juga lihat tai kotok serasa lihat coklat.

Pertanyaan; "Kenapa keluar malam-malam?", "Kenapa jalan sendirian?", "Apakah si korban mengenakan pakaian yang atraktif dan provokatif?", "Kenapa tidak menyiapkan antisipasi ekstra?" atau komentar pedas : "Salah sendiri, pakaiannya seksi begitu sih!"  dan kita mengabaikan faktor-faktor eksternal korban. Sungguh kalimat-kalimar tersebut terdengar  tak berperasaan yang tak sepantasnya diucapkan. Kembali, perempuan mana yang ingin diperkosa? Para perempuan korban perkosaan sudah menanggung penderitaan, trauma, ditambah lagi malu. Itu sudah cukup!

Begitulah! Kita meyakini  bahwa apa yang menimpa seseorang tentu sudah sesuai dengan perbuatannya. Bukan kah memang begitu? Siapa menuai akan memanen? Dunia memang adil! Ini kita yakini ketika sesuatu hal buruk menimpa orang lain, bahwa mereka layak mendapatkannya. Tapi tidak demikian ketika menimpa diri sendiri. "Kenapa harus aku? Sungguh Dunia ini tidak adil!" Loh... padahal sebelumnya bilang kalau dunia ini adil?  Lalu ketika kita meyakini dunia ini tidak adil, kita coba mengelak konsekuensinya bahwa kalau begitu, hal buruk bisa menimpa siapa saja, termasuk diri kita. Nah... jadi, adil tidak adil menurut versi siapa?

Kita seolah telah terkonstruksi untuk tidak membiarkan diri ini salah. Ketika kecil dulu, saat terjatuh,  batu atau benda lain yang disalahkan dan dipukul. Ketika kita gagal dalam sebuah tes misalnya, kita kerap menyalahkan pihak eksternal seperti; "pertanyaannya ribet, nggak sesuai materi", "kelas nggak kondusif", ketimbang mempertanyaan kesiapan diri dalam menghadapi tes. Kita tidak mau disalahkan, bukan? Mari belajar berempati pada korban, yang jelas-jelas tak pernah dalam hidupnya membayangkan peristiwa buruk itu terjadi.  Mereka nggak mau kok! Andai, dalam posisi korban, kita pula disalahkan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline