Lihat ke Halaman Asli

Isti

https://zonapsiko.wordpress.com

UN: Pendidik100% Jujur, Berani?

Diperbarui: 8 Mei 2016   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Besok, Senin 09 Mei akan diselenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk siswa tingkat Menengah Pertama di seluruh Indonesia, setelah awal April lalu siswa SMU sederajat melaluinya. UN, masih dipercaya sebagai sarana evaluasi pendidikan di Indonesia. Makanya, terus diupayakan perbaikan dalam beberapa hal, seperti model pelaksanaan yang kini mulai dikembangan metode UN online atau UNBK (UN Berbasis Komputer), tentu dengan sisi kuat dan lemahnya. Tak masalah, namanya juga proses. 

Hal berbeda lainnya adalah pada UN 2016 kali ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan mengisyaratkan bahwa semestinya, UN bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa. Selama ini yang terjadi demikian, sehingga nilai UN adalah segalanya. Nilai capaian UN adalah gambaran masa depan siswa. Tak heran, berbagai upaya dilakukan demi meraih nilai UN yang tinggi meski dengan cara-cara curang dan tidak terpuji seperti menyontek, jual-beli kunci jawaban, bahkan ketika tipe soal dibuat sedemikian banyaknya, kebocoran soal tetap terjadi. Kenapa?  Karena ternyata, pencapaian nilai UN bukan semata bukti kelulusan para siswa tetapi juga sebagai bukti prestasi dan kompetensi pendidik, prestise kepala sekolah, lembaga (termasuk bimbel) dan instansi-instansi terkait.  Semua merasa berkepentingan ketika itu terkait prestise.

Berdasarkan pasal 58 ayat 1 UU/20/2003 tentang Pendidikan Nasional bahwa; "evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan", Mendikbud menyatakan bahwa kelulusan UN 2016 ini sepenuhnya ditentukan oleh masing-masing sekolah. Idealnya memang demikian, sebab sebagai sebuah evaluasi, UN dipandang tidak memenuhi syarat. Bagaimana mungkin, kelulusan siswa hanya ditentukan oleh nilai 3 atau 4 mata pelajaran saja yang dikerjakan hanya 3/4 hari? Lalu kemana hasil proses pendidikan selama 3 tahun itu? Demikian yang selama ini menjadi salah satu titik konflik penyelenggaraan UN. Maka, sudah sewajarnya lah para pendidik yang mengetahui proses dan perkembangan peserta didik, memiliki wewenang untuk memberikan evaluasi bagi mereka.

Mendikbud berharap, kebijakan tersebut direspons dan dinilai positif oleh masyarakat. Selain untuk meruntuhkan citra horor yang melekat pada UN, juga agar setiap kita menghargai sebuah proses. Peserta didik, pendidik, Kepala Sekolah, instansi belajar untuk jujur, tidak stress memikirkan UN yang seminggu juga nggak, tapi hasilnya bikin senewen dan ketar-ketir. Di Medsos sudah ramai meme dengan profil Anies Baswedan yang mengatakan; " UN  kali ini bukan 100% lulus tapi 100% jujur!" Tentu ini menjadi harapan kita semua. Sejatinya, pendidikan berkepentingan untuk membentuk karakter dan mental peserta didik, bukan semata torehan angka-angka artifisial.

Prestise Masih Menjadi Tujuan

Kebijakan Mendikbud ini diamini oleh masyarakat terutama para pendidik. Diharapkan tingkat stress menjelang UN cenderung menurun. Tak ada lagi kasus bunuh diri akibat ketakutan tidak lulus UN. 

Kemarin, saat UN masih dijadikan acuan kelulusan, para siswa dihimbau untuk belajar keras dan jujur, namun gurunya yang nggak pede, membagikan kunci jawaban. Kepala Sekolahnya pedekate ke pejabat atas agar siswanya bukan hanya sekadar lulus tapi lulus dengan nilai mengagumkan. Percaya atau tidak, semakin bonafide sebuah sekolah dinilai oleh masyarakat, semakin tinggi tingkat stress Kepala Sekolah saat musim UN. Prestise diri dan  kredibiltas lembaga dipertaruhkan. Maka, sebenarnya yang perlu ditanya adalah mereka, para penyelenggara pendidikan; "Beranikah untuk 100% jujur?"

Dengan konsep baru, diharapkan tidak terjadi lagi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN kali ini. Yang diharapkan sebenarnya adalah kejujuran para pendidik, lembaga dan instansi pendidikan terkait dalam mengevaluasi proses yang dijalani dalam mendidik siswa. Sudah sesuaikah proses yang dijalani? Sebab masih ada celah kecurangan yang mungkin dilakukan, yakni mengutak-atik nilai siswa secara instan, mengubah standar nilai kelulusan siswa, apalagi kalau bukan karena alasan prestise lembaga. Maka, nilai-nilai perolahan siswa saat ini kebanyakan diragukan validitasnya. Tak sedikit, siswa dengan angka-angka fantastis di lembaran evaluasinya, kedodoran saat diuji di lapangan.

UN hanyalah sebuah fenomena musiman sesaat. Problematika sebenarnya adalah dalam pembentukan karakter di keseharian. Bagaimana siswa dibimbing dan dibina bukan saja dari segi keilmuannya, cerdas intelektualnya  tetapi juga cerdas dalam berperilaku, bersikap, dan terpenting adalah bagaimana siswa mampu menghadapi dan mau berusaha mencari dan menemukan solusi dari setiap masalah dalam kesehariannya.

Untuk kalian, para remaja hebat selamat menempuh UN ya! Pahamilah bahwa UN hanya setitik saja bagian dari ujian kehidupan. Ujian sesungguhnya adalah bagaimana kalian mampu bertahan untuk tetap berada di jalan lurus ketika di sekelilingmu mulai membengkok. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline