Akhir-akhir ini media kita diramaikan dengan berita penampilan Angel Lelga dalam kapasitasnya sebagai caleg dari PPP, yang tampak gelagapan menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa yang ditayangkan Metro TV. Tak lama berselang, kembali muncul berita yang tak kalah serunya, ketika Ketua Umum PKPI Sutiyoso yang dikenal dengan panggilan Bang Yos menggandeng seorang wanita cantik yang dikenal sebagai model 'panas' sebagai calegnya.
Siapa yang tak kenal Angel Lelga? Bintang film seksi dan kolektor tas hermes yang harganya selangit itu. Sementara model Destiara, penulis tidak mengenalnya sebelum berita ini muncul. Tampilnya wanita selebritis ke kancah politik bukan kali ini saja, sebelumnya sudah banyak juga yang lolos melewati fit and proper test. Jelas, tak sekedar modal populer, percaya diri yang tinggi dan ambisi saja yang dibutuhkan seorang caleg baik pria maupun wanita, hal yang juga penting adalah sikap dan pengetahuan serta wawasan yang luas sehingga tidak gagap ketika diminta sumbang sarannya dan mau berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Dan yang paling penting, TIDAK KORUPSI demi memenuhi gaya hidupnya yang mewah.
Ruang gerak kaum perempuan yang semakin terbuka diyakini publik sebagai hasil dari upaya kaum feminis yang berada di belakang lahirnya UU Pemilu Legislatif no. 10 tahun 2008 dan UU no. 2 tahun 2008 tentang parpol yang mengatur ketentuan kuota caleg perempuan minimal 30 persen, terutama untuk tingkat pusat. Tentu saja kran politik ini diamini banyak kaum perempuan yang memang memiliki keinginan untuk terjun di dunia politik dengan beragam alasannya, salah satunya untuk menyumbangkan ide dan pikiran terkait permasalahan kaum perempuan yang sebelumnya tidak terakomodir dengan baik. Sebagai kaum perempuan, penulis pun mengapresiasi UU Pemilu tersebut dengan harapan bahwa seorang anggota legislatif perempuan akan lebih mampu 'mengenali' dan kemudian merealisasikan kebutuhan-kebutuhan kaum perempuan. Penulis juga meyakini, banyak kaum perempuan yang mumpuni dan layak menduduki posisi di kursi legislatif sana. Namun demikian, tak banyak kaum perempuan yang tertarik untuk terjun ke dunia politik yang 'ganas' itu.
UU pemilu tersebut kemudian menimbulkan persoalan baru. Di satu sisi UU tersebut dipandang mampu memberi kontribusi yang positif bagi dunia perpolitikan sementara di sisi lainnya, sedikitnya minat kaum perempuan untuk terjun ke dunia politik memaksa partai untuk 'berburu' caleg perempuan demi memenuhi kuota 30 persen sebagai syarat lolos pemilu.
Pada akhirnya, apa yang terjadi? Kita dapat melihat fenomena yang kini mengemuka, banyak partai yang terkesan memaksakan diri dengan menggaet para artis yang tidak diketahui jelas kualitasnya selain hanya karena popularitasnya. Mereka, kaum perempuan tak lebih direkrut hanya demi sebuah tiket untuk melenggang ke arena pemilu ke depan, dan karenanya kompetensi caleg tidak begitu dipandang penting. Namun belakangan, KPU sendiri sebagai penyelenggara Pemilu memberi kelonggaran kepada Partai-Partai yang tidak dapat memenuhi kuota tersebut sehingga tidak langsung dianulir. Partai-Partai tersebut masih bisa mengajukan diri dengan memberikan penjelasan yang dapat diterima. Sebelumnya, Peraturan KPU nomor 8 tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Peserta Pemilu Legislatif mengharuskan setiap partai memiliki keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di setiap cabang kepengurusan kecuali tingkat kecamatan.
Hmm kembali penulis berpikir, jika bukan ambisi membabi buta yang melatarbelakangi pemimpin partai demi memuluskan langkahnya memenangi pemilu, lalu apa? Kok segitunya memaksakan diri 'melirik-lirik' kaum perempuan yang dari kesehariannya pun orang dapat menilai kemampuannya. Mengetahui ada artis yang mengajukan diri, langsung disetujui demi memenuhi kuota 30 persen itu. Artinya apa ya kalau begini jika bukan sebuah pemaksaan diri dan egoisme partai terutama pemimpinnya? Apa keberadaan mereka benar-benar tulus demi rakyat, bukan untuk diri sendiri? Apa mereka akan serius memecahkan permasalahan yang rakyat hadapi jika kredibilitas calegnya saja dibuat tak serius? Sebab jika suatu persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, apa yang akan terjadi?
Untuk kaum perempuan yang sudah memiliki kemauan terlibat dalam dunia politik, salutlah buat kalian sebab keinginan menjadi modal awal yang tidak semua kaum perempuan miliki. Tinggal bagaimana meningkatkan kualitas diri dan wawasan kalian agar tidak gagap menghadapai dunia politik yang memerlukan volume otak lebih besar karena memikirkan banyak persoalan publik bukan? Untuk para pemimpin partai, jika benar rakyat adalah nyala api semangat kalian untuk rela berdarah-darah memenangi pemilu, berilah rakyat wakil-wakil yang memang memahami dan mau memperjuangkan nasib mereka.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H