Ketika di sini, di Negeri Indonesia tercinta kita disibukkan dengan munculnya video jalan-jalannya duo Zallianty bersaudara bersama Capres dari Partai Golkar - Abu Rizal Bakri [ARB] dan anggota Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin ke sebuah pulau eksotis - Maladewa dengan bumbu-bumbu dan beragam penafsirannya, jauh di sana duo TKI tengah berjuang mempertahankan nyawanya.
Siapa yang tak mengenal Marcella Zallianty dan adiknya Olivia Zallianty? Siapa pula yang berani bilang tak mengenal nama Abu Rizal Bakri dan minimal pernah mendengar nama Aziz Syamsuddin? Mereka adalah nama-nama populer yang kerap mampir di layar kaca dengan segala sensasinya. Banyak yang bertanya dalam rangka apa ARB mengajak duo Zallianty ke Maladewa? Liburan kah atau ada tujuan lainnya? Sebab dari sebuah gambar yang saya lihat, sepertinya bukan sebuah perjalanan resmi. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Olivia dan ARB, keduanya kompak menjawab bahwa perjalanan itu dalam rangka study banding melihat potensi pariwisata di Maladewa yang luar biasa indah yang nantinya akan diadopsi atau diadaptasi di Indonesia. Mungkin kalau nanti ARB lolos dalam pilpres 2014? siapa tahu?
Dunia artis memang serba gemerlap dilimpahi dengan gelimang kemewahan dan fasilitas nomor wahid. Asalkan mereka mau, pundi-pundi uang dapat mengalir dengan deras ke rekeningnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tak sedikit para artis cantik yang memanfaatkan pejabat untuk menggendutkan kantungnya. Pejabat nakalpun banyak, maka bak gayung besambut terjadi sebuah hubungan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Bagi artis, sudah diajak liburan dapat uang saku dan fasilitas mewah pula, sementara bagi pejabat, karena sudah merasa membayar, seolah bebas berbuat apa saja.
Amat kontradiktif dengan nasib duo TKI kita. Kita ketahui bersama bahwa ada seorang TKI kita - Wilfrida Soik (22) asal NTT yang divonis hukuman mati atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap majikannya - Yeap Seok Pen (60) setelah sebelumnya menjalani hukuman penjara selama tiga tahun di Penjara Pangkalan Chepa, Kota Nharu - Kelantan - Malaysia. Sementara menurut Migrant Care (Perhimpunan Buruh Migran) menyatakan bahwa Wilfrida tidak sengaja membunuh majikannya, ia hanya membela diri dari perbuatan majikannya yang kerap memarahi dan memukulinya. Suatu waktu, ia terpaksa mendorong majikannya hingga terjatuh dan meninggal dunia. Sampai saat ini Wilfrida masih menunggu.
Kini, kembali terdengar nasib serupa yang dialami seorang TKI asal Ungaran - Jawa Tengah, Satinah di Arab Saudi yang juga telah divonis hukuman pancung sejak tahun 2007 lalu oleh Pengadilan Buraidah - Arab Saudi. Waktu eksekusi itu kian dekat hanya dalam hitungan hari yakni pada 3 April mendatang. Alasan hukuman pancung ini karena Satinah telah membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh majikannya, Nura Al Gharib serta melakukan pencurian uang sebesar 37.970 riyal.
Pihak keluarga majikan mengajukan akan memaafkan Satinah dengan syarat dipenuhinya diyat [uang tebusan] sebesar 7,5 juta riyal atau sekira 25 - 26 miliar rupiah. Sebuah nilai yang fantastis. Seringkali kejadian hukum pancung yang diterima TKI harus ditebus dengan sejumlah uang yang tidak sedikit - yang meski jika dibandingkan dengan nyawa tentu tak bisa mengembalikan nyawa itu kembali. Namun sepertinya, tebusan yang cukup besar dulu yang diberikan Pemerintah sebagai tebusan Darsem dijadikan senjata oleh para keluarga majikan di Arab Saudi untuk menekan korban TKI yang terjerat hukum pancung.
Hukum yang berlaku di Malaysia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku di Arab Saudi. Di Malaysia, hukum tidak sekeras di Arab Saudi. Jika di Arab Saudi berat ringannya sebuah hukuman harus mendapat persetujuan keluarga korban, maka di Malaysia persidangan masih memiliki peran penting dalam menyelesaikan permasalahan. Maka pendekatan yang harus dilakukan pun berbeda dan tugas Pemerintah Indonesia memperjuangkan nasib rakyatnya. Jika Pemerintah Australia gigih memperjuangkan Corby kenapa Indonesia pun tidak bisa memperjuangkan pahlawan devisanya?
Kenapa selalu Pemerintah yang dituntut pertanggungjawabannya? Para TKI ini bisa jadi memang melakukan pembunuhan sebagai cara untuk mempertahankan diri atau memang karena kelalaian dan ketidakfahaman mereka, dan tentu ini menjadi PR dan tanggungjawab pemerintah, kenapa membiarkan mereka yang minim pengetahuan dan pengalaman bisa dengan mudahnya bekerja di Negeri orang yang ternyata kejam juga?
Ini lah dua potret wajah perempuan yang saya tangkap. Satu wajah penuh keglamouran dan popularitas yang dengan mudahnya meraih pundi-pundi uang. Merekalah para perempuan yang seringnya mudah terpedaya oleh gemerlapnya duniawi. Wajah lainnya adalah mereka yang tersembunyi tanpa hiruk pikuk popularitas dan harus bekerja mati-matian dengan ancaman bui dan hukuman mati setiap saat mengintai karena ketidakfahaman akan hukum, kelemahan dan ketakberdayaan status, demi rupiah yang harus dialirkan kepada keluarga di kampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H