Lihat ke Halaman Asli

Isti

https://zonapsiko.wordpress.com

Kenapa Mereka yang Katanya Baik Itu Korupsi?

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1409898058563440256

[caption id="attachment_322469" align="aligncenter" width="471" caption="ppotoda.org"][/caption]

Kenapa Orang-orang yang Katanya Baik Itu Korupsi?

Mungkin orang-orang terdekat dan mereka yang mengetahui perjalanan para figur populer dan tampak kharismatik di mata publik akan memberikan tanggapan seperti judul artikel ini. Tak berbeda dengan saya, yang terkaget-kaget dan merasa perlu untuk 'mengenali' kembali jejak-jejak para koruptor tersebut.

Kita masih ingat dengan kasus korupsi yang menjerat anggota DPR Komisi X dari Partai Demokrat-Angelina Sondakh, mantan anggota DPR di Komisi I dan sekaligus presiden DPP PKS-Luthfi Hasan Ishaaq, Ketua SKK Migas-Rudi Rubiandini, Ketua Mahkamah Konstitusi-Akil Mochtar, Lalu ada Ketua Umum Partai Demokrat-Anas Urbaningrum, Menteri Agama dan Ketua Umum DPP PPP-Surya Dharma Ali, dan terakhir Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral)-Jero Wacik dan masih banyak lagi nama-nama yang dinyatakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai koruptor dan sebelumnya dikenal sebagai orang-orang intelektual yang memiliki rekam jejak yang baik di mata keluarga, sahabat, lingkungan sekitar, bahkan di mata publik dengan posisi dan prestise tinggi. Lalu kenapa orang-orang pintar bahkan di antaranya bergelar doktor ini melakukan korupsi?

Sebagai sebuah apologi dan pembelaan, kita mendengar ucapan “namanya juga manusia tempatnya salah dan lupa” atau “Tak ada manusia yang sempurna dan suci.” Dan kalimat senada lainnya. Betul. Dan saya tidak sedang dan bermaksud menghakimi para koruptor tersebut. Siapa pun tahu bahwa para koruptor ini melakukan tindakan amoral berupa korupsi tentu ada sebabnya. Entah itu faktorinternal maupun eksternal.

Menurut Philip Zimbardo dalam bukunya yang berjudul “The Lucifer Effect’, menyatakan bahwaada tiga hal mendasar yang menjadikan individu yang baik menjadi jahat atau sebaliknya;

Pertama,disposisi atau karakter bawaan individu.Dalam pepatah Arab disebutkan “al insaanu hayawaanun naatiq” bahwa manusia merupakan hewan yang berakal.Artinya, jika manusia kehilangan akal dan nuraninya, ia tidak beda dengan binatang.Bahwa sudah ada dorongan dan bibit jahat dalam diri manusia selain juga dorongan dan bibit kebaikan. Kalau menurut Freud, pakar psikoanalisa menyebut dorongan jahat ini sebagai dorongan primitif yang lebih mengutamakan hawa nafsu.

Dalam Islam, kita mengenal tiga tingkatan nafsu yakni nafsu amarah yang semakna dengan dorongan primitif, nafsu lawwamah dimana pemiliknya sering labil; sekali waktu ia mampu mengikuti akalnya namun seringnya mengikuti hawa nafsunya, dan nafsu muthmainnah di mana seseorang akan lebih terkendali rasionaitasnya sesuai petunjuk dan perintah Tuhan.

Kedua,situasi dan lingkungan. Selain disposisi bawaan yang ada pada setiap individu, perubahan perilaku juga banyak dipengaruhi oleh situasi danlingkungan di mana individu berada. Pepatah lama mengatakan “jika bergaul dengan penjual minyak wangi akan kecipratan bau wangi, bergaul dengan penjual ikan asin akan kecipratan bau ikan asin.” Sejauh ini, pepatah tersebut masih berlaku dan terbukti. Hukum sosial berlaku bahwa ada kecenderungan seseorang untuk mengikuti perilaku kolektif di sekitarnya agar ia dapat diterima. Lingkungan memberikan pengaruh yang besar dan juga mempercepat proses “perbaikan” dan “perusakan” perilaku individu. Maka, ketika kita ingin berubah ke arah yang lebih baik, akan mudah jika bergaul dengan orang-orang yang baik pula, sebaliknya tantangan semakin berat jika orang-orang di sekitar kita menunjukkan perilaku yang tidak baik.

Ketiga,sistem (politik, sosial, ekonomi, budaya). Ketika memasuki sebuah sistem, artinya kita dihadapkan pada aturan dan nilai-nilai yang berlaku di dalamnya. Yang namanya sistem berarti terkait dengan struktur, jaringan, dan birokrasi yang saling kait-mengait dari hilir ke hulu. Ini lah yang rakyat Indonesia hadapi saat ini. Pada tahap sistem, korupsi kerap dibungkus dan dikemas dalam produk dan kebijakan publik yang mengatasnamakan rakyat yang pada kenyataannya dimanfaatkan oleh oknum-oknum pejabat dan pembuat kebijakan. Korupsi dibiaskan dengan undang-undang dan payung hukum yang melindunginya.

Ketika pada mulanya seseorang itu bersih memasuki sebuah sistem, perlahan dengan atau tanpa disadari ia terseret ke dalam lingkaran korupsi itu. Awalnya korupsi serupiah, dua rupiah hingga triliunan rupiah. Apalagi korupsi yang dilakukan berjamaah. Sungguh tidak berasa. Lingkaran korupsi semakin mengakar, menguat, dan butuh keberanian serta ketegasan untuk membabatnya hingga tuntas. Semakin berat beban KPK sebab sudah sedemikan banyak individu yang terjerat dalm praktik korupsi dan anehnya tidak merasa kalau dirinya melakukan korupsi.

Menjadi kewajiban orang-orang terdekat ketika ayah, anak, ibu, suami, isteri, dan saudara memiliki disposisi buruk, berada dalam situasi dan lingkungan, serta sistem yang buruk untuk senantiasa mengingatkan dan tidak menjadi pendorong mereka untuk melakukan tindakan korupsi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline