“Kalo tempat bimbel yang bagus apa ya? Ibu mau masukin Neng Hera ke bimbel, tuh anak motivasi belajarnya makin menurun. Disuruh ikut les di sekolahnya, nggak mau. Pusing ibu mah! Barangkali sama Teteh mah, mau ngomong keinginannya apa dan yang penting mau ikut bimbel!” Demikian keluhan seorang ibu.
“Ardi sering banget bolos, dari rumah berangkat dan nggak nyampe sekolah. Bosen dipanggil gurunya ke sekolah. Maluuu. Ardi susah banget dibilanginnya. Ibu minta tolong ke gurunya buat ngelesin Ardi, eh gurunya malah bilang gini; “yang wajibnya saja bu, belajar di sekolah yang rajin, takutnya les juga males.” Bimbel yang bagus di mana ya?” Tante Widi pusing dengan ulah keponakannya.
Seringkali orang tua terlalu cepat menilai bahwa anaknya membutuhkan atau harus segera dimasukkan ke lembaga bimbel (bimbingan belajar) ketika sang anak malas, susah belajar dan prestasi akademik yang rendah. Tanpa mau bersabar menggali masalah yang sebenarnya. Saya sering sampaikan bahwa, cari tahu dulu apa masalah sebenarnya yang menyebabkan anak menunjukkan perilaku yang tidak diharapkan baru kemudian bisa menentukan solusi yang tepat. Pada dasarnya para orang tua menginginkan jalan pintas dan nggak mau ribet karena mereka sibuk atau tidak tahu caranya. Yang terpikir hanya les dan bimbel.
Maraknya lembaga bimbel merupakan sebuah respon atas semakin tingginya animo orang tua untuk memasukkan anaknya ke dalamnya. Ya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa orang tua jauh lebih antusias ketimbang anaknya sendiri untuk mengikutkan anak ke bimbel di lembaga-lembaga bimbel. Tak jarang, anak-anak yang mengikuti bimbel bukan atas keinginan dan kesadaran sendiri melainkan atas dasar bujukan dan paksaan orang tuanya. Hanya sedikit anak yang mengikuti bimbel atas keinginan sendiri, dan mereka ini justeru yang memiliki prestasi akademik bagus dengan motivasi belajar tinggi. Bahkan, ikut bimbel juga merupakan sebuah kebanggaan dan prestise sebab hanya orang-orang yang berduit yang bisa mengikutinya.
Sedikit alasan yang dikemukakan oleh orang tua ketika memasukkan anak-anaknya ke lembaga bimbel adalah karena mereka sibuk sehingga tidak dapat mendampingi anaknya belajar di rumah. Selain itu, materi pelajaran yang semakin rumit membuat orang tua kesulitan saat anaknya bertanya. Alasan lainnya adalah agar waktu anak tidak terbuang sia-sia dan tidak banyak bermain. Maka orang tua kadang tanpa kompromi mengikutkan anaknya untuk les pelajaran dan segala macam keterampilan, sementara ia tenang bekerja tanpa memikirkan kondisi fisik dan psikis anak yang terbebani dan kelelahan. Bagaimana dengan anak? Mereka pun memiliki alasan beragam; disuruh atau dipaksa orang tua, ikutan teman, atau keinginan sendiri.
Pola pengajaran di bimbel dengan model privat atau semi privat dengan jumlah anak terbatas dalam satu ruangan belajar, memang menjadi ciri khas dan menjadi daya tarik tersendiri bagi anak dan orang tua. Diharapkan dengan pola seperti itu, anak-anak lebih terfasilitasi dalam memahami materi pelajaran dan perkembangan setiap anak dapat diketahui segera. Model pembelajaran yang semi atau non formal di bimbel juga memberikan kesan yang santai dan nyaman bagi anak, sehingga proses belajar lebih bisa dinikmati, dan materi cepat diserap.
Di sisi lain, sistem pendidikan dan konstruksi nilai yang terbangun di masyarakat turut menjadi pendukung larisnya lembaga-lembaga bimbel; bahwa anak-anak yang pintar dan berprestasi adalah mereka yang mampu meraih angka-angka tinggi di beberapa mata pelajaran tertentu. Tak jarang orang tua yang ketika mengetahui anaknya mengalami penurunan dalam nilai-nilai akademiknya-terutama mata pelajaran yang di UN kan, langsung merujuknya ke guru les atau lembaga bimbel. Padahal, mungkin ada faktor lain yang menjadi penyebabnya. Padahal juga setiap anak tak mungkin memiliki kemampuan yang seragam. Setiap anak memiliki kecenderungan minat, bakat, dan kecerdasan yang berbeda. Bagaimana dengan sistem pendidikan di sekolah? Keberagaman kecerdasan, karakter, minat, dan bakat siswa kurang atau bahkan tidak terakomodir secara optimal, melalui pola dan gaya pembelajaran klasikal yang seragam, terlebih dengan kelas gemuk yang satu kelasnya menampung sekira 50 siswa bahkan lebih.
Profesionalitas guru yang diupayakan melalui program seritifikasi guru harusnya memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Para guru profesional ini tentu dibekali dengan materi, metode, dan pola pengajaran dan pendidikan yang mumpuni dengan kualitas yang semakin teruji. Mestinya dengan kondisi tersebut, para orang tua semakin percaya dengan kemampuan guru dalam mendidik anak-anaknya dan yakin kalau anaknya cukup belajar di sekolah. Faktanya, bahkan di lembaga-lembaga pendidikan yang kurikulumnya dinilai bagus dengan sistem pendidikan yang bisa dikatakan bertaraf internasional pun, para orang tua masih ‘merasa perlu dan penting’ untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga bimbel.
Sebenarnya apa yang terjadi? Mungkinkan para orang tua merasa khawatir dengan capaian pendidikan anak-anaknya di sekolah? Mungkinkah para orang tua tidak memercayai sepenuhnya profesionalitas guru di sekolah dalam mengajar dan mendidik anak-anaknya? Mungkinkah lembaga bimbel menjadi pilihan para orang tua akibat kekhawatiran dan ketidakpercayaan mereka akan kualitas pembelajaran di sekolah? Atau memang orang tua hanya memilih jalan praktis dan enggan terlibat dalam kegiatan belajar anak karena benar-benar tidak memahami materi pelajaran anak? Atau orang tua dan guru tidak mampu membangun motivasi intrinsik pada anak untuk belajar secara mandiri di rumah? Atau ikut bimbel hanya merupakan bagian dari trend dan gaya hidup? Adakah alasan lainnya?
Bagi lembaga bimbel, animo besar dari masyarakat ini menjadi tantangan tersendiri. Muncul persaingan ketat antar lembaga. Untuk itu mereka menyiasatinya dengan memberikan harga promo, paket bimbel yang kompetitif, hingga konsultasi dan tes psikologi gratis pun ditawarkan, bahkan hampir semua lembaga bimbel mengeluarkan jaminan lulus 100 % ujian Perguruan Tinggi. Animo yang besar dibarengi juga dengan ekspektasi yang tinggi dari anak dan orang tua terhadap lembaga bimbel yang diikutinya, menjadi beban tersendiri bagi lembaga bimbel, sebab biaya yang dibayarkan orang tua jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya sekolah anaknya. Kekhawatiran bahwa anak bimbingannya tidak menunjukkan progress yang signifikan atau justeru gagal, persaingan yang ketat antar lembaga bimbel, serta keharusan menjaga citra lembaga, memberikan peluang kecurangan baru yang dilakukan oleh lembaga bimbel.
Lalu, apakah benar bahwa anak-anak yang ikut bimbel dipastikan bahkan dikondisikan seolah-olah harus lebih pintar dari mereka yang tidak ikut bimbel? Bagaimana dengan faktor inheren yang pada anak seperti bakat, minat, intelektualitasnya? Bukankah memaksakan sesuatu untuk menjadi seragam dengan mengabaikan sisi unik dan spesial anak dapat mematikan keunikan dan kespesialan itu? Bukankah juga sebaiknya para orang tua menggali lalu mengembangkan hal-hal unik dan spesial anaknya, alih-alih memaksakan kelemahan mereka agar menjadi seragam dengan yang lain? Semakin banyak yang dipelajari dan dikuasai anak, semakin sedikit ia mendalaminya. Fokuskan saja pada kelebihan-kelebihan potensinya, tanpa mengabaikan kekurangannya. Pertanyaannya, sudahkah kurikulum pendidikan kita lepas dari paradigma angka-angka kuantitatif artifisial dan seringnya juga manipulatif? Jika masih belum, wajar saja para orang tua khawatir.