Lihat ke Halaman Asli

Isti

https://zonapsiko.wordpress.com

Jangan Samakan Anggota Dewan dengan Anak TK!

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum juga 24 jam dilantik, para anggota dewan yang terhormat sudah menunjukkan keaslian wataknya. Melalui sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR pada 1 oktober malam, suguhan tontonan yang tidak indah dipandang itu disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Lagi-lagi, dalam situasi yang tidak menyenangkan, penuh tekanan, lelah, mengantuk (mengingat sidang dilakukan tengah malam hingga dini hari), karakteristik asli seseorang dapat terlihat. Dan hal demikian ditunjukkan oleh beberapa anggota dewan di sana.

Bagaimana para anggota dewan ricuh saat menyampaikan interupsi. Gradak-gruduk menyerbu ke area pimpinan sidang. Semua berbicara tanpa mau mendengar. Lalu yang kecewa melakukan protes dan aksi walkout. Kenapa para anggota dewan hobi sekali dengan walkout? Lalu ada yang coba mengambil hati ibu pimpinan sidang dengan memijit-mijit lengan beliau. Hah?

Aksi konyol mereka menuai banyak kecaman di jejaring sosial dan predikat anak TK untuk anggota DPR kembali populer. Sebutan ini pernah disematkan oleh mantan Presiden RI Gus Dur dan bahkan mengusulkan agar DPR dibubarkan saja mengingat tingkah mereka yang kerap memalukan.

Kemudian saya coba membandingkan antara perilaku anggota dewan dengan anak TK. Saya banyak menemukan ketidaksamaan perilaku di antara keduanya. Dekat rumah saya ada TK di mana saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana mereka berperilaku. Saya juga pernah melakukan pengamatan partisipatif bersama anak-anak TK selama 4 bulan penuh. Oh tidaaaak! Sungguh amat berbeda. Anak-anak TK mampu menghadirkan emosi positif dan ceria setiap saya bersama mereka. Bahkan ketika sebelumnya saya tengah menyimpan kegundahan. Anak-anak TK memiliki kepolosan, ketulusan, dan kejujuran. Tak ada kepalsuan dalam tangis dan tawa mereka. Tak ada kepura-puraan dalam amarah dan kesal mereka. Kita bisa melihat dengan terang benderang saat mereka bahagia, sedih, terluka, bersemangat, sakit, malu, dan lelah. Mereka tak suka ditipu dan menipu. Kita hanya butuh memahami emosinya untuk menyembuhkan sedih, lelah dan lukanya. Kita akan tertular dengan mudahnya atmosfir kegembiraan dan keriangan yang mereka bawa. Keberadaan anak-anak TK itu menyenangkan, membahagiakan, dan menyembuhkan.

Bagaimana halnya dengan anggota dewan itu? Mereka bikin rakyat yang emosinya tidak stabil tambah meledug. Ngomel-ngomel dan mencak-mencak juga kayak anggota dewan. Akibatnya vertigo kambuh. Ada lucunya juga sih, dan bisa bikin ketawa tapi habis itu mual dan muntah. Tak seperti anak TK yang membawa efek bahagia, para anggota dewan menebarkan efek resah. Tak seperti anak TK yang menampilkan kepolosan, ketulusan, dan kejujuran, mereka mempertontonkan sandiwara, manipulatif, dan palsu. Anak TK masih punya malu kalau ada yang meledek dan menertawakan atau terjatuh, sementara mereka tak punya malu meski dipermalukan bahkan masih bisa tersenyum saat harus digelandang ke bui karena jatuh ke dalam tindakan yang memalukan. Anak TK masih mau bilang maaf kalau salah, mereka? Ngakunya bener saja dan nggak merasa salah. Lalu di mana kesamaannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline