Lihat ke Halaman Asli

Isti

https://zonapsiko.wordpress.com

Kepergian Bob Sadino; Membaca Fenomena Psikis Duda

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Innaa li Ilaahi wa innaa ilaihi raaji'uun, sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya lah kita kembali. Indonesia kehilangan satu sosok inspiratif, pengusaha sukses dengan gaya yang khas dan nyentrik dengan sepatu kets, topi, dan celana pendeknya di setiap kesempatan baik acara formal maupun non formal. Adalah Bob Sadino satu asset berharga milik bangsa yang disegani dunia.


Bob Sadino meninggal dalam usia jelang 81 tahun, Senin sore (19/1) di RS. Pondok Indah Jakarta Selatan karena penyakit komplikasi. Namun menurut orang terdekat beliau-Zainal Abidin, Bob Sadino meninggal karena faktor usia. Zainal juga menambahkan bahwa kondisi kesehatan Bob Sadino menurun drastis sejak ditinggal isterinya untuk selama-lamanya Juli 2014, dan puncaknya November kemarin, kesehatannya terus memburuk. Artinya, hanya berselang sekira 6 bulan Bob Sadino menjalani hidup setelah sepeninggal isteri. Memang Tuhan penentu jatah umur setiap makhluknya tanpa bisa ditunda atau dipercepat, dengan cara dan tempat yang juga hanya Tuhan saja yang Mahatahu. Bisa jadi kita meninggal tanpa harus mengalami sakit dan di tempat yang asing sama sekali bagi kita, tanpa sanak-saudara.


Sebelumnya saya mohon maaf, tiada bermaksud menabur pilu atas duka cita keluarga yang ditinggalkan. Sebab tanpa kepergian Bob Sadino pun, fenomena yang akan saya sampaikan telah bayak saya jumpai. Saya hanya mencoba menarik pernyataan Zainal Abidn - kondisi kesehatan Bob Sadino memburuk sejak meninggalnya isteri - kepada realitas yang saya temui pada kehidupan para duda di sekitar. Dan tentu berlaku pengecualian tertentu, artinya saya tidak sedang menggeneralisir. Selamat Jalan, Om Bob.. Semoga Allah menerima amal baik dan mengampuni segala dosa. Untuk keluarga yang ditnggalkan, semoga tabah. Aamiin.


Memburuknya kondisi Bob Sadino pasca meninggalnya isteri, mengingatkan saya pada fenomena janda-duda di sekitar saya dalam rentang usia dewasa madya hingga lanjut usia. Saya melihat ada perbedaan yang amat kontras dari keduanya (janda dan duda), baik ditinggal mati maupun cerai. Saya melihat, tekanan dan beban menyandang status janda-duda karena ditinggal mati pasangan, terasa lebih berat bila dibandingkan karena perceraian, meski tetap saja beban itu lebih berasa bagi para janda dibanding para duda dari segi status/citra diri. Status janda cerai melahirkan stigma negatif ketimbang status duda.


Kondisi kesehatan Bob Sadino yang memburuk, kemungkinan besar dipicu oleh kondisi psikis yang juga buruk sepeninggal isteri. Dalam hal ini kembali saya melihat sebuah realitas bahwa para wanita kelihatan lebih mampu untuk struggle, dan tegar secara psikisnya dibanding kaum pria. Saya melihat, para janda bahkan yang tidak lagi muda mampu survive hingga belasan tahun bahkan puluhan tahun setelah ditinggal mati pasangannya sampai ajal menjemput. Sementara amat sedikit duda yang mampu bertahan untuk hidup sendiri dalam waktu yang lama.


Dari apa yang saya lihat, para janda mampu menjalani hidup seperti biasanya meski pada mulanya, tentu rasa kehilangan dan kesedihan itu ada tetapi tidak berlarut-larut. Apa yang saya saksikan, selepas ditinggal pasangannya, para duda mengalami kemerosotan yang signifikan dalam hal semangat, mental, emosi, dan kemampuan mengorganisir hidupnya. Mereka tampak bingung dan gamang serta gagap menjalani hari-hari. Target terdekat mereka biasanya cenderung mengarah kepada bagaimana agar mendapat pasangan secepatnya. Berbeda dengan para janda, yang mereka pikirkan adalah bagaiman agar bisa survive, menghidupi anak-anak sepeninggal suami, jika anak-anak masih kecil. Bagi janda yang telah bebas dari merawat anak, mereka tampak lebih tenang.


Fenomena lain yang saya amati dari para duda adalah, mereka lebih cepat tampak menua, linglung, bahkan depresi. Tak mampu mengurus diri sendiri dan itu tadi, fokusnya mencari pasangan baru. Kebalikannya, nyaris tak ada perbedaan mencolok (konteksnya adalah pada perubahan psikis ya) pada kaum wanita saat masih memiliki pasangan maupun setelah menjanda. Satu hal mungkin disebabkan karena selama berumah tangga, para isteri telah terbiasa mengurus dan melakukan banyak hal. Para isteri harus bertanggung jawab akan kenyamanan rumah tangga; mengelola keuangan (akuntan), juru bicara atau penyambung lidah dengan tetangga (PR), mengurus suami dan anak-anak dari soal kesehatan, pakaian, pendidikan, makanan, hingga tetek bengeknya (manajer) memasak di dapur (koki), antar-jemput anak (delivery), merawat anggota keluarga saat sakit (perawat) dan masih banyak lagi. Boleh dibilang, pekerjaan isteri tak kan cukup diselesaikan dalam waktu 24 jam. Mereka adalah super women, sementara para suami, jenis pekerjaan mereka terbatas, mungkin hanya soal kerjaan kantor, ngasih jatah bulanan (tanpa perlu pusing mengaturnya). Banyak pekerjaan suami yang bisa didelegasikan ke pihak lain seperti bengkel, tukang service, dan layanan publik lainnya. Sementara pekerjaan isteri, meskipun ada juga yang bisa diserahkan kepada pihak lain, banyak yang memilih menghandlenya sendiri, dan tetap saja tanggung jawabnya lebih besar dibebankan kepada isteri, terutama bila berkaitan dengan perkembangan anak. Jika anak gagal, orang yang pertama disalahkan adalah ibunya, yang dinilai tidak mampu mendidik. Maka ketika pasangan hidupnya meninggal, para isteri tidak begitu merasakan perbedaan yang berarti kecuali bahwa kini, ia harus merangkap jabatan sebagai ayah bagi anak-anaknya (bila anak masih kecil dan belum berumah tangga). Kehilangan sudah pasti, tapi hal itu tak menjadikan para janda menjadi "lumpuh" toh mereka sudah terbiasa melakukan segalanya.


Bagaimana dengan para duda? Karena keterbatasan "skill" dan "ruang geraknya", amat jarang mampu mengambil alih peran isteri. Perhatikan saja, sepeninggal isteri kondisi rumah menjadi berantakan tak terawat, anak-anak tak terurus, masak, mencuci? Mengandalkan saudara-saudaranya atau pembantu jika ada. Bahkan mungkin pekerjaan dirinya sendiri kacau. Badan sendiri tak terurus; pakaian kusut karena tak diteriska, penampilan tak terperhatikan. Ini kelihatannya sepele namun berdampak besar pada kesehatan psikisnya dan memicu pertahanan fisiknya ngedrop. Sebab Para isteri cenderung mampu mengerjakan pekerjaan suami, sebaliknya para suami sering menyerah bila harus menggantikan peran isteri. Mereka butuh waktu lama untuk beradaptasi.


Ada banyak janda manula yang mampu hidup sendiri-benar-benar sendiri tanpa sanak keluarga dan menjalani hari-hari dalam kesepian. Mungkin mereka hanya bisa mengenang kebersamaan bersama suaminya belasan atau puluhan tahun lalu kala malam, dingin, dan sepi menggigit. Namun amat sedikit para duda yang bertahan hidup dalam kesendirian. Sebagian menikah kembali dan sebagian lainnya menyusul isteri dalam rentang waktu yang tidak lama.


Untuk Om Bob Sadino... lahu alfaatihah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline