Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan: Cermin Masa Depan yang Retak

Diperbarui: 11 Januari 2025   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika embun pagi menyapa bumi, pendidikan seharusnya menjadi matahari yang menyingkap kabut ketidaktahuan, menyinari setiap sudut negeri, dari kota hingga pelosok desa. Namun, realitasnya, pendidikan kita masih seperti cermin masa depan yang retak. Potongan-potongan harapan tidak lagi utuh, memantulkan wajah ketimpangan, ketidakadilan, dan kegagalan sistem yang belum merata.

Beban Guru Honorer: Menghidupkan Asa di Tengah Keterbatasan

Di ujung desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota, guru-guru honorer adalah pilar utama pendidikan. Namun, perjuangan mereka sering kali seperti mendayung perahu di tengah badai. Dengan gaji yang tak lebih dari Rp500 ribu per bulan, mereka tetap datang ke sekolah dengan senyum dan semangat, meski harus berjalan kaki melewati hutan, menyeberangi sungai tanpa jembatan, atau menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan.

Seorang guru honorer di pedalaman bukan hanya seorang pendidik. Ia juga berperan sebagai orang tua pengganti, motivator, bahkan terkadang satu-satunya cahaya harapan bagi anak-anak di desa. Sayangnya, peran besar ini tidak diiringi dengan penghargaan yang setimpal. Banyak dari mereka terpaksa mencari pekerjaan sampingan, mulai dari bertani hingga menjadi buruh harian, hanya untuk menyambung hidup. Di sisi lain, tuntutan untuk menerapkan kurikulum berbasis teknologi menjadi tekanan baru yang sulit mereka penuhi.

Siswa Pedalaman: Perjuangan dalam Ketimpangan

Mari kita lihat anak-anak di desa terpencil. Di kota, anak-anak belajar di ruang kelas yang nyaman, menggunakan tablet atau laptop sebagai alat pembelajaran. Sementara itu, di pedalaman, ada anak-anak yang harus berjalan sejauh 5 hingga 10 kilometer setiap hari hanya untuk sampai ke sekolah. Beberapa dari mereka bahkan harus melewati sungai deras atau mendaki bukit terjal, sering kali dengan sepatu yang telah robek atau tanpa alas kaki sama sekali.

Ironisnya, ketika mereka sampai di sekolah, mereka dihadapkan pada kurikulum berbasis teknologi yang sulit mereka jangkau. Bagaimana mungkin mereka bisa memahami konsep pembelajaran digital jika listrik saja masih menjadi barang mewah? Di beberapa tempat, sinyal internet adalah sesuatu yang mustahil, sementara buku-buku pelajaran sudah ketinggalan zaman.

Kurikulum berbasis teknologi, yang seharusnya membuka jendela dunia, justru menjadi beban baru bagi anak-anak pedalaman. Tanpa perangkat yang memadai, mereka hanya bisa mendengar istilah-istilah seperti "platform pembelajaran digital" atau "aplikasi edukasi" tanpa pernah menyentuhnya. Ketimpangan ini menciptakan jurang besar antara mereka dan anak-anak di kota, seolah mereka hidup di dunia yang berbeda.

Tekanan Psikologis di Tengah Ketidakadilan

Bagi guru dan siswa di pedalaman, tekanan psikologis menjadi beban tambahan yang sering kali tidak terlihat. Guru merasa terbebani oleh tuntutan kurikulum yang tidak relevan dengan kondisi lapangan. Mereka harus mengajar teknologi tanpa akses teknologi, mendidik generasi yang siap bersaing global tanpa fasilitas yang mendukung.

Sementara itu, siswa menghadapi stigma sebagai "anak desa" yang dianggap tertinggal. Banyak dari mereka merasa tidak percaya diri ketika dibandingkan dengan teman-teman mereka di kota. Padahal, semangat mereka jauh lebih besar, terbukti dari perjuangan mereka untuk tetap bersekolah meski dalam kondisi yang serba terbatas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline