Lihat ke Halaman Asli

Inception, Awas Perangkap Raun-raun di Alam Mimpi!

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1303193142643175433

[caption id="attachment_102527" align="alignnone" width="639" caption="Photo by Stephen Vaughan © 2010 Warner Bros. Entertainment Inc. All. Imdb.com."][/caption] Adegan memperpedayai korban lewat minuman di atas pesawat dalam kelas bisnis tak pelak membawa ingatan pada tragedi meninggalnya pendekar hak azazi manusia, Munir. Kasus assasination Munir dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam September 2004 lalu memang terkenal di antero jagad, dan sampai sekarang masih belum terungkap jua dalang sejatinya. Kalau anda seorang yang terbiasa mengalami lucid dream --mimpi yang terasa begitu nyata, dan anda 'sadar' bahwa anda sedang bermimpi-- film ini akan menarik buat anda. Begitu menariknya, sampai anda memaafkan kekurangdalaman penuturan  atas motivasi Saito (Ken Watanabe) hingga ia memblack mail Cobb untuk melakukan inception --unggah gagasan--  pada Robert Fischer (Cillian Murphy). Menuturkan tuntas motivasi ini penting, karena inilah yang menjadi hulu yang melarung film ini bertutur tentang sepak-terjang perjuangan menculik Robert Fischer, melibatkan adegan kejar-kejaran seru di pasar Mombasa yang eksotik hingga tembak-tembakan sengit di gurun salju. Film ini memang menyadarkan kita betapa kreatifitas filmmaker tidak pernah berhenti menyuguhkan pengalaman mendebarkan, mengejutkan, serta menggarap sejadi-jadinya suatu ide dengan imajinasi tiada berbatas. Setelah Matrix  dan Shutter Island  menyuguhkan realm alternatif, berikutnya giliran Inception, besutan Christopher Nolan yang sekaligus penulis skenarionya. Film box office yang per tanggal 26 Juli sudah meraup keuntungan $226 juta ini dibuka dengan scene pantai dan seorang yang terdampar, Dominic Cobb (Leonardo DiCaprio). Kemudian ia diringkus oleh pengawal dari seorang tua berkuasa. Kamera zoom in pada wajah sepuh dan ringkih orang gaek itu. Dan mulailah cerita dijalin.

13031933621516410109

Cobb ternyata pemimpin kelompok 'spionase' korporasi yang mencongkel informasi rahasia dari alam bawah sadar korbannya. Menisbikan batas realitas dan ilusi bukan ide baru pada layar lebar. Setidaknya ide yang sama juga digarap dalam film Shutter Island besutan Martin Scorsese yang juga dibintangi Leonardo DiCaprio (resensinya dapat anda baca di sini). Keduanya sama-sama mempertanyakan; apa sih realitas? Juga sama-sama mengubek-ubek kedigdayaan otak manusia dalam memanipulasi persepsi. Kalau Matrix mengharuskan lakonnya masuk ke sebuah ruang matrix, dan Shutter Island dengan lobotomi otak, Inception lebih ringkas; via injeksi ampuh yang langsung membuat penerima pulas tertidur dan diruyak2 di alam mimpi. Luar biasa efek yang dipertontonkan, tentu dunia film berhutang pada teknologi komputer yang makin lama kian tiada berbatas. Lihatlah, kota dicipta ditekuk-tekuk dan orang-orang melenggang tanpa bimbang pada grafiti. Tentu saja pertarungan zonder grafiti juga ditampilkan. Music score garapan Hans Zimmer membungkus film ini dengan cermat, berkaitan dengan pijakan cerita pada konsep relatifitas waktu. Satu menit di alam nyata menjadi satu jam di alam mimpi. Untuk memberi efek pada juxtaposisi waktu ini, musik berderam dengan tempo cepat,  mendebarkan. Berhasil dengan efektif mengawal penonton, bahwa adegan-adegan normal atau lambat pada mimpi sebenarnya adalah waktu yang berlari singkat pada alam nyata. Sekedar informasi, soal relatifitas waktu ini sudah lama diamini oleh kalangan ilmiah yang membuktikan bahwa waktu berjalan lebih pelan di luar angkasa. Mimpi dalam mimpi. Ini menariknya. Film manapun merupakan sebuah 'mimpi' yang dihidupkan menjadi 'realita' pada screen oleh para sutradara. Kalau sesudah menonton penonton menggerutu bahwa dialog-dialognya tidak masuk akal, setting waktu dan wardrobe yang dikenakan pemain tidak matching, atau pemainnya salah kasting, ini alamat sutradara gagal membangun kepercayaan penonton pada apa yang terproyeksi di layar. Pada Inception premis ini juga dipakai. Semua yang tampil dalam mimpi harus meyakinkan, kalau tidak, beresiko orang yang dikerjai tersadar dan bubarlah misi. Biar meyakinkan bak alam nyata, operasinya dilaksanakan sejelimet layaknya operasi spionase sesungguhnya. Hingga perlu seorang arsitek, Ariadne (Ellen Page) seorang mahasiswa yang bertugas merancang 'dunia'  dan bangunan yang diperlukan dalam misi yang dieksekusi lewat mimpi, lengkap dengan rancangan  exit way yang berguna. Tak salah Ariadne diuji kelihaiannya mengolah ruang dengan menggambar teka-teki maze.

13031934161489010533

Seperti biasa, Leonardo DiCaprio bermain matang didampingi Sir Michael Caine yang berakting ringan sebagai Ayah Cobb. Namun nan mencuri perhatian adalah Marion Cottilard yang dikasting sebagai istri Cobb. Aktingnya sebagai seorang depresi dan akhirnya mati bunuh diri namun tetap menghampiri Cobb dalam setiap misi, begitu memberi gigitan pada sisi gelap bahaya menyusup-nyusup pikiran. Bagi saya, film serupa ini, yang bermain-main dengan batas realita dan ilusi, lebih menyeramkan ketimbang film-film kuntilanak atau hantu-hantu tak jelas. Bukan adegan kontak senjata dan pertarungan hidup mati atau ledakan bom sana-sini, namun pada akting Marion-lah film ini berhutang aura mencekam, berbahaya dan mengerikan. Yang pantas dicatat, lagu yang dipakai untuk membangunkan dari tidur adalah No, je ne Regrette Rien (I regret nothing, versi Inggrisnya yang lebih populer di kuping Indonesia adalah No Regret) yang dinyanyikan  diva legendaris Perancis, Edith Piaf. Film tentang diva ini, The Passionate Life of Edith Piaf, lengkap dengan soundtrack lagu yang sama dilakonkan dengan penuh kharisma oleh Marion juga. Adapun Inception, film ini sungguh bertempo cepat. Satu kejadian menghantam, susul-menyusul dengan kejadian berikutnya. Penonton seolah dibawa raun-raun dalam mobil yang melaju kencang. Baru pada akhir cerita, penonton tersadar misi Cobb sebenarnya bukan untuk meng-unggah gagasan pada Fischer seperti yang dipesan oleh Saito semula. Melainkan guna menjemput Saito yang tersesat di alam mimpinya untuk kembali ke alam sadar. Baru juga pada detik-detik akhir cerita penonton tersadar bahwa yang sejak tadi dilihat adalah memori Pak Tua, Saito (Ken Watanabe). Malam itu, ending cerita membuat penonton seisi bioskop berteriak spontan. Agaknya benar, rasa penasaran penontonlah yang dicolek agar menjadi klimaks film ini; Chris Nolan menutup habis layarnya dengan efek suara hantaman menggelegar saat kamera lekat mengabadikan  pusingan gasing momento milik Cobb. Persis pada saat semua penonton berharap gasing itu  berhenti. Kalau anda penyuka kisah-kisah spionase dalam balutan efek yang prima, jangan lewatkan film open ending ini. [Nenen]

Masih omelan Nenen tentang film:

Hantu Genderuwo, Pemenang Palem Emas Cannes 2010: Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives

Freud, Shutter Island, dan Penonton Senewen dengan Ikhlas!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline