Lihat ke Halaman Asli

Mereka dan Saya tentang Natal di Amerika

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ah Natal sebentar lagi. Semarak  kota Riverside terasa sekali menyambutnya. Rumah-rumah terang benderang dihiasi banyak lampu warna warni.  Pusat kota juga dihiasi cantik oleh lautan lampu. Lengkap dengan fasilitas ice skatingnya, penyewaan kereta kencananya, musik live-nya, serta kedai-kedai kecil yang menjajakan makanan ringan. Tempat-tempat umum seperti mal, kantor, sekolah, rumah sakit, dan tempat  hiburan, kesemuanya ikut serta menyemarakkan Natal lewat berbagai hiasan dan acara khusus.  Dan tanpa terkecuali, klub ibu dan anak balita di kota ini, tempat dimana hampir setiap hari aku dan anak perempuanku yang berusia dua setengah tahun bertemu dan bermain, juga ikut memeriahkan datangnya Natal.

Ya diklub itulah, saya menjadi kenal banyak ibu-ibu di Riverside, California ini. Perkenalan yang awalnya dimulai dari mencari info di google, kemudian bertemu di darat dan saling sapa, lalu sama-sama mengawasi anak-anak kami bermain, lama kelamaan menjadi asyik karena kami sering ngobrol ngalor-ngidul. Mulai berbagi cerita tentang pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga, sampai ke soal yang cukup privat; kepercayaan dan tradisi keluarga. Topik yang awalnya sensitif dan hati-hati untuk diungkapkan itu, perlahan justru menjadi sangat menarik untuk didengarkan dan diceritakan. Apalagi menjelang natal ini, kami jadi bisa saling berbagi dan belajar. Berikut penggalan obrolan saya dengan mereka.

“Selamat Natal, Neneng!, ups..ma’af, selamat liburan maksud saya”, kata Sarah sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Aku tersenyum membalas sambil mengucapkan Natal untuknya dan mengatakan bahwa seperti dugaannya, aku tidak merayakan Natal. Sarah minta ma’af lagi, dia bilang dia keceplosan. “Jadi kamu dan suami kamu itu Muslim Kristen, atau Muslim Yahudi?”, tanyanya kemudian. Sebuah pertanyaan yang belum pernah aku dengar sebelumnya.

“Wah saya tidak tahu maksud kamu apa, tapi saya orang Islam, lahir sebagai muslimah, dan dibesarkan di tengah keluarga Islam”. Sarah mengangguk-angguk. “Tapi kamu percaya Yesus kan?, saya pernah baca sedikit bahwa orang Islampun percaya Yesus?!”, tanyanya seperti ingin mengkonfirmasi kalau saya adalah salah satu dari golongan yang ia sebut. “Iya betul. Yesus adalah Nabi bagi umat Islam, kami menyebutnya Nabi Isa. Ia adalah salah satu dari Nabi-nabi yang kami percayai. Hanya saja kami tidak percaya kalau dia anak Tuhan”, jawabku lagi. Wajah Sarah kelihatan tambah serius, “Tuhan kamu?”, tanyanya menggantung. “Tuhan saya tidak beranak dan diperanakkan. Dia Tunggal. Kami menyebutnya Allah, dari bahasa Arab, yang artinya yah Tuhan, atau God”.

Tiba-tiba Lauren yang sedari berada di dekat kami ikut bicara,“Aku senang kamu ucapkan selamat Natal ke kami walaupun kamu tidak percaya Yesus”. “Dan banyak orang tersinggung loh, kalau ucapan selamat Natal dihilangkan dan diganti dengan selamat liburan saja. Saya termasuk didalamnya”, celetuk Sarah sambil nyengir. “Ya tentu saja tersinggung. Sudah jelas-jelas kok kita memperingati kelahiran seseorang yang menyelamatkan kita, masa harus dihilangkan ucapannya. Hari kelahiran dia pantas sekali kita rayakan”, Lauren menjawab sambil mengalihkan pandangannya kearahku, seakan memintaku menerangkan sesuatu lebih lanjut, dan aku tidak tahu pasti apa itu.

“Saya seorang muslimah seperti yang kalian tahu, tapi kalau Natal tiba, saya ikut juga menikmati semaraknya. Seperti yang kita lakukan di klub kita ini. Acara makan siang (potluck) bersama, acara tukar kado, acara membuat prakarya untuk hiasan Natal, dan lain-lainnya itu buat saya menarik dan baik maksudnya. Toh tidak ada juga yang berdoa atau melakukan kebaktian secara khusus di acara-acara kita kan?”, tutupku sambil memandang Lauren dan Sarah bergantian. “Betul, betul, betul”, kata Lauren menyetujui. “Saya juga memasang lampu-lampu warna warni di bagian depan rumah kami, supaya jadi cantik, dan ingin membuat para tetangga dan siapa saja yang lewat di depan rumah kami senang”.

“Waktu saya masih mengajar di SMA dulu, poin yang selalu saya tekankan pada anak-anak murid saya adalah keterbukaan dan saling menghormati perbedaan. Saya berharap anak-anak murid saya bisa seperti kita-kita ini, bicara terbuka, fair, dan tetap berteman walau berbeda kepercayaan dan tradisi”, kata Sarah tajam dengan gaya bak orang sedang mengajar. “Iya memang kita harus sering berdialog seperti ini, karena dengan dialog kita jadi kenal dan tahu, dan sadar bahwa sebenarnya kita banyak kesamaannya”, kata saya tak kalah serius.

“Tepat sekali!”, timpal Sarah diikuti anggukan Lauren. “Saya juga sebenarnya sama seperti kamu Neneng, Saya tidak mempermasalahkan perbedaan diantara kita. Apalagi kita ibu-ibu, sepatutnya memberi contoh kan ya?! Memang begitulah hukum alam, manusia dimana-mana ya berbeda. Sudah sewajarnya kita tetap berdampingan walau berbeda”, Kata Lauren seperti memberikan kesimpulan. “Nanti kalau waktunya Idul Fitri gantian kamu cerita-cerita ke kami ya?!”, tambahnya dengan wajah sumringah.

“Iya mestinya urusan ucap mengucapkan tidak perlu dipermasalahkan dong ya. Ada penganut agama lain yang mau mengucapkan Selamat Natal bagi teman Kristianinya, ya bagus sekali. Kalau tidak mau ya sudahlah, kita yang Kristen tidak perlu tersinggung”, Kata Sarah sambil tertawa. “Iya dan jangan menghakimi apa yang orang lain percayai atau lakukan”, tambah saya sambil bermimpi saya bisa mengatakan hal ini dengan lantang bukan didepan Sarah, melainkan di depan banyak orang yang sosoknya tiba-tiba sekelebat melintas di benak saya.

“Jadi kamu gak punya pohon Natal, anak kamu gak dikenalin Santa, gak ada kado-kadoan, dan sebagainya kan ya?”, sambung Lauren memastikan. “Tidak, tidak ada itu semua”.  Kami bertiga terdiam sejenak, seakan memberi isyarat untuk segera mengakhiri obrolan. Kami bertiga lalu teringat anak-anak kami, dan beranjak menghampiri mereka yang kebetulan bermain di tempat yang berbeda.

Di tempat ayunan saya temui anak saya sedang asyik menggunakan dadanya untuk main ayunan, bukan bokongnya. Saya tersenyum geli melihat gayanya. Disamping anak saya, saya lihat Ashley sedang mendorong anak lelakinya di ayunan. Ashley, ibu muda yang dulunya adalah seorang guru seni rupa di SMA, dan kebetulan sudah saya kenal sejak sebelum kami menjadi  bagian dari klub ini mengucap salam, dan dengan suara pelan dan sopan ia bicara, “Hi Neneng, saya tahu kamu tidak merayakan Natal. Tapi jujur, saya tidak bisa membayangkan bagaimana sikap kamu atau orang tua Muslim di Amerika untuk memberi pengertian kepada anaknya bahwa mereka tidak merayakan Natal, dan mereka bukan orang Kristen. Karena di Amerika ini kan, walaupun Natalnya masih sebulan lagi, tapi gaung dan semaraknya sudah jauh-jauh hari. Pasti susah kan ya?”.

Saya berpikir sejenak, kemudian menjawab kalau kebiasaan ritual di rumah sudah secara tidak langsung menjelaskan kepada anak saya apa agama orang tuanya. “Secara perlahan akan saya beri pengertian pada anak saya akan identitasnya sambil terus saya kenali dengan agama lain. Kalau tidak prinsipal, saya tidak keberatan anak saya ikut menikmati semarak Natal, ya seperti yang sering dan sudah kita lakukan di klub ini”. “Tapi bagi sebagian Muslim, ikut menyemarakkan Natal, apapun bentuknya itu, sangat tidak boleh kan? Mereka takut mereka atau anak mereka masuk neraka kan?”, katanya setengah berbisik. Lalu Ashley melanjutkan ceritanya.

“Saya dibesarkan dalam keluarga Kristen yang cukup taat. Tapi saya menikahi  lelaki yang bukan Kristen. Keluarga saya senang sama suami saya, tapi mereka selalu menyayangkan bahwa Iden, suami saya bukan orang Kristen”, kata Ashley sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka pikir suami saya akan masuk neraka”, katanya lagi menyebut kata neraka, lagi-lagi, sambil berbisik. “Coba bayangkan Neneng, bagaimana perasaan kamu kalau ada orang yang bilang bahwa suami yg kita cintai dan mencintai kita akan masuk neraka?, sedih kan?,”.

Terus terang, saya sempat kikuk menjawabnya, tetapi lalu saya bilang bahwa memang  begitulah sikap sebagian orang; seenak hatinya menggolongkan orang lain untuk masuk neraka. “Itu urusan Tuhan, kenapa juga semua harus ditarik ke urusan surga dan neraka coba?!”, kata saya balik memberi pertanyaan. Ashley mengangguk-angguk. “Memang begitulah manusia ya. Saya tebak juga begitu di keluarga Muslim ya, mengatakan yang bukan Muslim ahli neraka, benar kan?”, tanyanya mengkonfirmasi. “Ya tidak semua tentunya sih, tapi sangat mungkin ada yang begitu”, jawab saya lagi.

“Selama ini saya cuma bisa menebak-nebak soal sifat dan pandangan orang Islam, tapi sejak bertemu kamu, saya bisa bilang kalau saya punya teman dekat seorang Muslimah”, katanya bangga diiringi senyum lebar. Di New York dulu, murid-murid saya, atau teman-teman di kampus yang muslim, tidak pernah benar-benar ngobrol sama saya. Jadinya ya saya tidak pernah punya kesempatan mengenal mereka lebih jauh. Mereka juga kelihatannya selalu bersama kelompoknya ya?”, tanyanya lagi dengan nada sama, mengkonfirmasi. “Ehm…bisa jadi begitu, dengan berbagai alasan sebagian mungkin tidak banyak bergaul dengan orang lain”, jawab saya membenarkan.

“Nah itulah karena Iden bukan Kristen, saya biasa –biasa saja menyambut Natal ini. Ada Kadoo, ya ada, hanya untuk keluarga kecil kami saja, karena itu wujud kasih sayang. Ada Pohon ya ada, karena rumah jadi cantik dihiasi pohon natal. Itu saja”,katanya tanpa beban. “Dan saya pikir Natal di Amerika ini seperti sebuah tradisi saja, tidak semua yang merayakan beragama Kristen”, tambahnya. “Tapi ngomong-ngomong kalau Idul Fitri bagaimana? , suasananya apa mirip dengan Natal?”. “Ya mirip lah, heboh dengan tradisi yang menurut saya sah-sah saja untuk dilestarikan”. “Kalau Ramadhan, bagaimana?. Saya ingat betul lohh…waktu Ramadhan kemaren, ingin sekali saya ucapkan Happy Ramadhan ke kamu, tapi suami saya bilang kalau bisa jadi Neneng tidak happy pas Ramadhan, karena kan harus puasa. Betul begitu?”, tanyanya serius. “Ya tidak apa-apa kamu bilang Happy Ramadhan, saya senang kok. Karena itu akan saya fahami sebagai support dan penghormatan”.  “Oh oke, aku ucapkan selamat Ramadhan tahun depan ya..”, jawabnya riang.

“Jadi tidak ada Natal buat kamu, tidak ada kado-kado, tidak ada Santa juga kan ya?”, Laurie ikutan nimbrung.  “Ada yang kamu sukai tidak dari natal?”, tanyanya lagi. Tapi belum sempat saya jawab dia sudah mulai bicara.  “Aku suka semua yang berbau natal, makanannya, lagu-lagunya, lampu-lampunya, kado-kadonya, walaupun saya akui saya juga harus hati-hati memberi kado untuk anak saya. Apalagi tahun ini dia masih kecil, belum dua tahun, dan saya berencana untuk tidak memberikannya kado. Dia tidak butuh apa-apa”, tutupnya pasti. “Ya sama, saya juga suka semaraknya, lampu-lampunya, dan ide saling memberi di kala natal”.

“Ah ya saling memberi. Nah itu dia, itu yang ingin saya tanamkan pada anak saya bahwa Natal itu bukan soal mendapat hadiah saja tapi berbagi kebahagiaan khususnya pada mereka yang kurang mampu”. “Saya juga akan memberi kado secukupnya saja, jangan sampai keterlaluan. Kalau misalnya usianya masih dua tahun tapi sudah di kasih mobil-mobilan mini elektrik yang harga paling murahnya $200, mau dikasih apa lagi nanti pas usia tiga tahun dan seterusnya coba?”, katanya meminta persetujuanku akan penilaiannya pada saudara iparnya yang memberi kado anaknya serupa itu.

Saya tersenyum mengangguk-angguk tanda setuju. Pikiran saya melayang ke romantika Idul Fitri, khususnya tentang silaturrahmi, yang kadang-kadang ada dilemanya. “Tapi memang perlu pemikiran, waktu, biaya dan tenaga untuk menyambut Natal ya, khususnya membeli kado untuk keluarga dan sahabat?!”, tanya saya pada Laurie. “Betul itu, dan menariknya saya selalu saya belanja di akhir waktu, padahal lebih baik kalau saya mencicil  membeli kado. Paling tidak saya tidak terburu-buru dan bisa lebih enjoy”, jawab Laurie jujur. Saya tersenyum, senang akan gayanya yang ceplas ceplos, tapi juga terkenal baik hati.

Dan bicara soal baik hati, plus bijaksana, saya tiba-tiba teringat tetangga depan saya, seorang wanita tua berusia 60 tahunan yang tinggal sendirian karena suaminya sudah  sangat sakit dan harus diurus di panti jompo. Ia begitu perhatian pada kami, khususnya pada anak kami. Setiap hari Thanksgiving, Ulang Tahun, dan Natal, ia membanjiri anak kami dengan kartu ucapan selamat dan berbagai macam hadiah. Kasih sayangnya pada anak kami hampir serupa dengan perhatiannya pada cucunya sendiri yang saya lihat sering datang berkunjung kerumahnya. Ah Jenny, nama wanita tua itu, ia begitu menggugah perasaan kami. Kehangatan sikapnya membuat kami merasa ada di kampung halaman sendiri. Cukup lama saya tertegun, mengingat kebaikan Jenny, sampai Sarah memanggil kami untuk siap merapat ke meja penuh hidangan.

Sebelum merapat kami mengajak anak kami masing-masing, bersiap-siap menikmati makanan yang terhidang di atas meja. Makanan yang kami bawa dari rumah masing-masing dan kami nikmati bersama-sama di alam terbuka, di taman umum yang bersih, indah, dan nyaman. Kemudian suara anak-anak dan ibunya riuh rendah terdengar di dekat meja hidangan. Hari itu, beberapa hari menjelang Natal, semuanya terlihat ceria dan senang, berkumpul bersama menjelang Natal, terlepas dari perbedaan dan cara masing-masing merayakan dan memaknainya.

Riverside, California, 24 Desember 2013.

~Nama tokoh di tulisan ini adalah nama samaran, kecuali nama saya

~Tulisan ini juga di muat di http://nenengrosmy.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline