Pada masa kampanye pemilihan umum presiden tahun 2019 kandidat capres Joko Widodo dan cawapres Ma’ruf Amin mengajukan program kerja apabila keduanya terpilih menjadi presiden Republik Indonesia periode 2019 - 2024.
Pada pemilu 2019 kandidat nomor satu tersebut mengungguli pihak lawan dengan memeroleh suara sebesar 55,50%. Karena kemenangan tersebut program kerja yang di ajukan saat pemilu tahun 2019 harus di realisasikan.
Kartu Prakerja adalah salah satu program kerja yang diajukan keduanya. Kartu prakerja merupakan program yang digalangkan oleh pemerintah dalam rangka pelatihan dan pembinaan warga negara Indonesia yang belum memiliki keterampilan. Menurut rencana kartu tersebut dinilai efektif dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Pandemi COVID-19 yang saat ini tengah melanda dunia termasuk negara Indonesia sendiri. Penyakit tersebut pertama kali terdeteksi mulai menyebar di Indonesia sejak tanggal 2 Maret 2020. Hingga tanggal 23 November tahun 2020 dilaporkan bahwa 502. 110 orang kasus positif virus corona, sehingga menempatkan negara Indonesia di peringkat pertama dengan kasus paling banyak di Asia Tenggara.
Dampak terbesar dari pengaruh pandemi COVID-19 yaitu dalam bidang perekonomian. Kementerian Ketenagakerjaan menyampaikan bahwa sekitar 3, 06 juta orang di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat virus corona diperoleh data per tanggal 27 Mei 2020.
Menjadi tugas pemerintah untuk membantu masyarakat di tengah wabah yang terjadi. Dalam membantu daya beli pekerja yang mengalami PHK atau pekerja yang dirumahkan tanpa upah, pemerintah memfasilitasi melalui program kartu prakerja. Pemerintah melakukan perubahan dalam sistem kartu prakerja sebagai bentuk penanganan wabah COVID-19. Dengan diberlakukan perubahan tersebut diharapkan dapat menjadi manfaat dan juga sebagai solusi terhadap perekonomian Indonesia yang ikut terdampak.
Namun, di tengah gencarnya bantuan dalam bentuk kartu menuai beberapa protes dari berbagai pihak. Protes yang ditimbulkan pun terjadi bukan tanpa sebab. Pemicunya ialah anggaran yang dibutuhkan oleh pemerintah dalam pemberlakuan program kartu prakerja yaitu sebesar Rp 20 triliun dan Rp 5,6 triliun di antaranya untuk pelatihan secara daring. Keputusan yang ditempuh sebagai jalan dari upaya pembebasan kesulitan ekonomi di tengah wabah tersebut dianggap keluar dari jalur semestinya. Para pekerja yang terkena imbas tersebut bukanlah yang memerlukan pelatihan keterampilan melainkan pekerja yang membutuhkan biaya untuk hidup.
Setelah dicanangkan oleh pemerintah berupa anggaran dalam bantuan berupa kartu prakerja. Masalah lain yang ikut menjadi bulanan publik yaitu mengenai pelaksanaan kartu prakerja dengan menerapkan pembukaan gelombang. Pembukaan gelombang kartu prakerja yang sudah terlaksana sejak tanggal 11 April 2020 menjadi tahap gelombang satu dengan pendaftar 168.111. Sampai tanggal 11 November 2020 tahap gelombang sebelas resmi ditutup.
Pada tahap tersebut gelombang pendaftaran prakerja tambahan dengan kuota 400 ribu peserta untuk menggenapi target 5,6 juta target peserta. Sebenarnya, pemerintah telah menutup pendaftaran prakerja pada akhir September 2020 karena kuota 5,6 juta peserta sudah tercapai. Namun kemudian dibuka tambahan gelombang pendaftaran karena 382.868 peserta yang dicabut status peserta atas penerimaan kartu prakerja. Pemenuhan persyaratan atas peserta prakerja seperti sebuah peralihan isu di tengah masyarakat atas pro dan kontra pemberlakuan prakerja.
Fokus dari pemerintah adalah bagaimana agar bantuan berupa kartu tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana sebagai bentuk tepat janji dari pemerintah. Padahal lain dari itu bantuan yang sebenarnya di perlukan oleh masyarakat bukan soal kartu akan lebih efektif jika bantuan dilakukan secara tunai.
Dalam kondisi darurat di tengah wabah virus diharapkan respons dari pemerintah bukan hanya mencakup cepat tanggap dalam hal pemenuhan tuntutan atas program kerja di waktu lampau. Pemerintah tentu harus mampu menyeleksi mana yang menjadi poin utama atas realisasi atas kebijakan menyejahterakan masyarakat agar tidak menimbulkan opini-opini yang tidak mendasar di tengah publik.