Meski Indonesia disebut berada di posisi 62 dari 70 negara dalam hal tingkat literasi, buku-buku dengan beragam genre cukup banyak diminati masyarakat.
Novel terjemahan bahkan diterbitkan berulang oleh penerbit besar karena tingginya animo pembaca. Begitu juga dengan karya-karya yang diterbitkan penerbit indie banyak diminati generasi muda.
Lorong-lorong bertuliskan sastra di toko-toko buku pun penuh dengan aneka judul novel dan banyak lagi. Setiap mendengar istilah sastra, ramai orang mengaitkannya pada karya-karya fiksi seperti drama, puisi, cerpen, novel, dan syair. Namun, benarkah sastra hanya sekadar itu dan tidak ada lainnya?
Horace, seorang sastrawan di era Yunani Kuno, menyebutkan bahwa sastra, khususnya puisi, seharusnya memiliki dua sifat, indah dan berguna (utile et dulce). Artinya, sebuah karya sastra tidak hanya untuk dinikmati tetapi juga untuk dijadikan pengajaran bagi para pembacanya.
Ketika kita memahaminya sebagai sebuah istilah yang berasal dari kata Sansakerta, sastra dimaknai sebagai teks berisikan instruksi atau pedoman kehidupan. Bentuknya dapat berupa lisan dan tulis, sehingga kita pun familiar dengan cerita rakyat dan legenda dari tuturan orang tua kita.
Dalam bahasa Inggris, sastra mengandung text yang merupakan akar kata dari textile atau kain. Istilah sastra atau literature sendiri berasal dari kata litteratura dalam bahasa Latin berarti belajar, tulisan, tata bahasa.
Teks sendiri tidak selalu berupa tulisan, karena suara, gambar, foto, tuturan, musik, tarian dan banyak lagi menyimpan dan/atau membawa gagasan-gagasan. Begitu juga dengan karya-karya seni lukis, pahat dan patung yang seringkali dianggap hanya dapat dinikmati segelintir orang.
Saya memahami bahwa sastra adalah segala sesuatu yang ada dalam kehidupan kita. Sebuah gaun indah penuh warna warni dan bertaburan permata adalah sebuah benda yang tampak di depan mata, namun bisakah kita melihat apa yang ada di baliknya?
Ketika kita melihat jauh lebih dalam, gaun warna-warni itu semula berasal dari puluhan bahkan ratusan gulungan benang yang terjalin satu sama lain. Setiap benang memiliki warna, tekstur dan karakteristik yang berbeda dengan lainnya.
Semua warna tampak hanya saling tumpang tindih. Keindahan gaun itu tidak atau setidaknya belum terlihat. Namun, ketika kita melihatnya secara menyeluruh atau setelah menjadi sebuah gaun, keindahannya pun muncul.