Saya termasuk orang yang suka mengamati perkembangan film-film dewasa –untuk mengganti istilah untuk biru, bokep, softcore, hardcore, triple x, dan beragam istilah lainnya bagi genre itu. Mengamati ini juga mungkin mengganti istilah untuk menikmati.
Segera setelah menonton video Luna Maya – Ariel semalam, perasaan saya campur aduk. Sedih, senang, termasuk tentu saja, horny. Hmmm....
Sedih, karena dua orang itu bagi saya masuk dalam kategori persona grata, sebagai orang yang saya senangi, kagumi. Selera keduanya sebagai figur publik cukup baik –dengan statement dan kehadiran di media yang terukur. Ariel, misalnya, bagi saya paham betul soal kapan dia harus tampil dan melepas kalimat-kalimat kunci diplomatisnya yang dingin, kadang seperti Eddie Vedder idola saya juga, dan itu bikin penasaran. Dan rasa penasaran itu dirawat dengan cerdas. Luna Maya pun sama. Kesan cuek, angkuh, ditampilkannya dengan baik dalam banyak scene di televisi, terlebih ketika dia berperang melawan infotainment.
Hampir setiap hari tanpa saya sadari, mereka saya konsumsi entah dari media cetak, plang-plang billboard dijalan, dari pemutar lagu di tempat-tempat umum, dan paling banyak sepertinya dari televisi. Kecerdasan public speaking dan bahasa tubuh keduanya menjadi hal yang paling mungkin yang bikin saya bisa juga sedih, selain empati –yang tidak terlalu, bagaimana jika itu menimpa saya. Pasti yang baca ini langsung, ”emang gue pikirin. Emangnya lu siapa?” hahaha..... Tapi ini benar serius buat saya. Pengalaman ini tidak saya alami ketika menonton video-video porno pasangan terkenal lainnya. Luna Maya – Ariel terasa begitu dekat dengan keseharian saya.
Saking dekatnya, saat nonton bareng kawan-kawan, secara bersamaan saya merasa sedang ditelanjangi dan menelanjangi.
Saya ingin memastikan pada diri saya dulu bahwa video itu dibuat keduanya dengan penuh kesadaran tapi tanpa maksud mempublikasikannya dengan penuh kesengajaan. Luna Maya masih saja membantah (kompas.com, 5/6/). Ini karena saya masih saja menaruh curiga pada strategi pencitraan. Pertanyaannya kemudian, apakah kegiatan seksual yang seperti itu harus diabadikan? saya tidak punya sikap. Saya berada diantara memilih jawaban ”ya” karena seks itu fantasi –namun dalam konteks bahwa itu tidak dipublikasikan dan ”tidak” karena buat apa, toh sensasinya cukup dialami saja secara langsung dan alamiah, tanpa harus ada media perantara.
Sebagai kegiatan purba mahluk hidup selain makan, minum dan buang air, seks memang mengalami metamorfosis seiring dengan perkembangan teknologi. Dengan ponsel berkamera menjadikan semua orang dengan mudah dan cepat mengabadikan hal-hal privatnya. Kecerobohan mengintai. Ada kampanye yang digalang massif dan populer untuk isu ini bertajuk Jangan Bugil Didepan Kamera, hingga inspirasi sebuah lagu dari band Efek Rumah Kaca yang dikasih judul Kenakalan Remaja di Era Informatika, mencoba memaknai situasi yang sudah bukan sekadar fenomena lagi di Indonesia ini.
Senang? Saya sempat menyebut ini diawal tulisan selain sedih. Ini karena referensi seksual saya sebagai seorang suami bertambah. By the way, Luna, Ariel, mudah-mudahan tulisan ini juga kalian baca. Tetap saja tampil menghibur (absurd, pagi ini di acara musik regulernya, Luna Maya masih ada). Mungkin memang situasinya tidak semudah Clinton dan Lewinsky atau Carla Bruni, hot model cum istri orang nomor satu Prancis itu atau Paris Hilton, atau siapapun mereka yang ada di masyarakat yang sebagian besar sudah bisa memisahkan urusan ranjang dengan kapasitas orang. Ini Indonesia say....
Terakhir saya ingin mengambil penggalan lirik lagu Efek Rumah Kaca itu, ”Senang mengabadikan tubuh / Yang tak berhalang / Padahal hanya iseng belaka / Lekat dan memamerkan badan dan yang lainnya / Mungkin hanya untuk kenangan / Ketika birahi yang juara / Etika menguap entah kemana / Oh nafsu menderu-deru / Bikin malu....”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H