Lihat ke Halaman Asli

Nely Anis

Mahasiswa

Diskriminasi dalam Membangun Rumah Ibadah untuk Masyarakat Beragama Minoritas

Diperbarui: 13 September 2023   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seluruh masyarakat di Indonesia memiliki hak dalam memilih agama yang menurut suatu individu merupakan agama yang baik. Tedapat enam agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, serta Konghucu. Namun kemajemukan agama tersebut tidak menjamin tingginya solidaritas antar umat beragama. Semua pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya dan menganggap pandangan agama lain kurang benar, sehingga memunculkan perilaku eksklusivisme. Selain itu di Indonesia agama Islam merupakan agama yang paling banyak dianut. Sehingga dapat dikatakan sebagai agama mayoritas dan agama lainnya adalah minoritas.

Tempat ibadah merupakan hal yang paling diutamakan dalam menunaikan ibadah. Setiap agama memiliki rumah ibadahnya masing-masing seperti agama Islam di masjid, Kristen Protestan dan Katolik di gereja, Hindu di pura, Buddha di vihara, serta Khonghucu di klenteng atau litang. Tempat ibadah yang paling sering ditemui adalah masjid sesuai dengan banyak penganutnya. Membangun tempat ibadah harus sesuai dengan aturan pemerintah serta masyarakat sekitar, hal ini bertujuan supaya tidak ada salah paham antar masyarakat. 

Salah satu permasalahan yang sering terjadi saat ini adalah kesulitan dalam membangun tempat ibadah bagi umat beragama non-muslim. Masyarakat yang berada di sekitar tempat yang ingin dijadikan sebagai tempat ibadah merasa tidak rela jika tempat tersebut dijadikan sebagai tempat ibadah agama lain atau non-muslim. Hal lain yang menjadi masalahnya adalah masyarakat non-muslim menjadi minoritas, jadi mereka tidak dapat melawan dengan penganut agama yang jumlahnya lebih banyak. 

Masyarakat muslim tersebut merasa bahwa pembangunan tempat ibadah agama non-muslim dapat merusak citra lingkungan mereka. Bahkan jika pembangunan tetap dilakukan, mereka dapat melakukan kekerasan sosial yang merujuk pada merusak rumah ibadah yang sudah dibangun. Dalam hal ini perlu adanya sosialisasi kepada seluruh masyarakat bahwa semua agama patut untuk di hormati apapun yang orang lain ikuti. Selain itu harus adanya sosialisasi pada masyarakat tentang nilai-nilai yang sesuai dengan norma sosial dan agama agar masyarakat tidak melanggar norma-norma.

Beberapa masyarakat mungkin masih ada yang menganggap bahwa dengan adanya tempat ibadah agama lain akan menimbulkan kemunduran iman, dan dapat membawa pengaruh buruk bagi lingkungannya. Sehingga mereka menolak dengan adanya pembangunan tempat ibadah selain dari agama mereka. Oleh karena itu sebagai umat beragama seharusnya dapat saling menghormati agama lain. Orang yang toleran tidak mengganggu aktivitas agama orang lain, tidak merusak tempat ibadah, dan juga tidak mengganggu keyakinan orang beragama.

Referensi

Dachlan, M. (2015). Dinamika Pendirian Gereja Kristen Songka Dan Gereja Toraja Jemaat Marannu Di Kota Palopo. Smart, 1(1), 69--81. https://doi.org/10.18784/smart.v1i1.230

Dezha, Y. P. (2022). PERAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM MELAKUKAN VERIFIKASI PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI KOTA BANDAR LAMPUNG (Studi di FKUB .... http://repository.radenintan.ac.id/20013/%0Ahttp://repository.radenintan.ac.id/20013/1/SKRIPSI BAB 1%262.pdf

Faridah, I. F. (2013). Toleransi Antarumat Beragama Masyarakat Perumahan. KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture, 5(1), 14--25. https://doi.org/10.15294/komunitas.v5i1.2368

Fidiyani, R. (2016). Dinamika Pembangunan Rumah Ibadah Bagi Warga Minoritas di Jawa Tengah. Jurnal Unisbank, 501--510. https://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/sendi_u/article/view/4233/1242

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline