Lihat ke Halaman Asli

Nela Dusan

Praktisi KFLS dan Founder/Owner Katering Keto

Ekonomi Dorayaki Ala Indonesahh

Diperbarui: 4 April 2017   18:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah capek bermacet-macet seharian, saya dan seorang sahabat memutuskan untuk mampir ke Grand Indonesia untuk relaxing sebentar sambil makan rujak di food court. Setelah itu, kami memutuskan untuk membeli Dorayaki.

Biasanya saya selalu membeli Dorayaki di Supermarket yang terletak di Pacific Place. Meskipun tidak biasa membeli di Supermarket yang terletak di Grand Indonesia itu, namun sebagai penggemar Dorayaki, saya selalu merasa senang  kalo berkesempatan membeli kue bundar yang konon merupakan kesukaan Doraemon itu.

Sesampainya di counter dorayaki, saya pun langsung memesan 6 Dorayaki. Pertama saya nggak memperhatikan apa yang aneh karena sepintas semua sama dengan tempat langganan saya. Sebentar saja saya langsung tahu apa yang aneh.

Wanita yang memasak dorayaki menuangkan adonan dengan takut-takut (takut kebanyakan kah?). Karena nggak tahan saya langsung komentar kenapa adonan yang dituang sedikit sekali, sampai-sampai si mbak yang masak harus mengayun-ayunkan sendok takaran agar tertuang semua padahal sudah kosong. Saya langsung komen, “wah kenapa begitu cara masaknya mbak?” saya merasa terganggu sekali karena sebagai penggemar dorayaki yang fanatik, saya mengharapkan standard masak yang sama dengan yang di Pacific Place. Memang itu supermarket yang berbeda.

Lebih jauh lagi, dengan cueknya saya terus berkomentar, “kenapa kecil dan tipis dorayaki yang kalian buat. Saya biasa beli di PP dengan merek yang sama tapi supermarket yang berbeda, mereka buat besar dan tebal” Si mbak dan temannya agak cemberut tapi mencoba menjawab dengan serempak dan setengah menyeringai puas ke saya, kata mereka “yah di sana kan harganya beda…lebih mahal, disana Rp 8.500…sedangkan kita Rp 8 ribu saja.”

Bukannya merasa happy karena membayar lebih murah seperti yang mereka klaim, saya malah menjawab kenapa mereka tidak samakan saja harganya jadi 8.500 rupiah dan berikan takaran yang sama. Keduanya semakin cemberut.

Yang lucunya lagi, ketika tahu saya memesan 6, mereka langsung menempatkan adonan sebanyak 12 lembar di atas pan yang sama persis dengan yang di PP. Hasilnya pan yang seharusnya hanya memuat 8 lembar kue, dipaksakan memuat 12 lembar kue. Artinya, mereka menghemat adonan bukan? Untuk menghasilkan 12 lembar kue, adonannya harus dikurangi agar ukurannya pas di atas pan.

Bagi saya itu suatu kecurangan, kecurangan #2. Kecurangan #1 adalah harga. Mereka menjual dengan harga 8000 rupiah seakan lebih murah dari supermarket saingan. Padahal, dari adonan dan isi, penghematan mereka jauh melebihi 500 rupiah yang mereka klaim lebih murah.

Tunggu dulu, masih ada lagi kecurangan yang berikutnya. Biasanya di Pacific Place, untuk pembelian dorayaki sebanyak >6, saya selalu mendapat box, kecuali box sedang habis. Tadi saya dapati dorayaki saya yang sizenya menyusut itu dimasukkan ke dalam tas plastik belanjaan biasa sebelum diganti box atas protes saya.

Sekarang saya pengen mengajak teman-teman semua untuk berhitung. Benarkan harga 8.500 yang kita bayar di Pacific Place itu lebih mahal daripada harga dorayaki dengan merek yang sama yg terletak di Grand Indonesia?

Selisih 500 rupiah, tapi pembeli kehilangan kue sebanyak 4 lembar atau 2 pasang dorayaki yang total harganya 16 ribu rupiah sebagai akibat size yang diperkecil. Artinya dengan memasang harga lebih murah 500 rupiah, penjual meraup keuntungan 16 ribu sementara keuntungan yang diiming-imingi kepada pembeli adalah 6 dorayaki x 500 rupiah, yaitu 3.000 rupiah, ‘cerdas’ bukan? Kalau setiap pembeli yang nggak protes dikasih kantong kresek, maka mereka telah mengurangi cost untuk box yang pasti ada harganya. Belum lagi dari sisi isi. Kalau di Pacific Place, saya minta isi cheese, artinya cream cheese dengan keju parut. Tapi di Grand Indonesia, kalau saya minta cheese maka yang hadir hanya keju parut. Alasannya lagi-lagi, kalo cheese dan cream cheese harganya beda. Semua itu atas dasar harga yang lebih murah 500 rupiah.

Pertanyaan saya, kenapa counter dorayaki dengan brand yang sama namun berbeda supermarket yang menjualkannya, bisa berbeda standard harga. Secara spontan saya protes. Saya bilang seharusnya kalian menaikkan harga supaya bisa memberikan service yang sama, bukan malah menurunkan harga tapi banyak hal yang ditilep.

Dorayaki hanyalah dorayaki, nggak penting, saya tahu. Tapi bagi saya, Dorayaki-gate itu merupakan representasi gaya bisnis orang Indonesia kebanyakan, saya tidak bilang seluruhnya. Seharusnya para ahli ekonomi mengulas teori ekonomi dorayaki itu. Apakah benar, dengan membayar harga murah seseorang mendapat keuntungan?

Bagaimana bisa para pembuat kebijakan dalam pengadaan misalnya, menetapkan harga merupakan patokan, bukan specification. Hasilnya, nggak heran kalo pengadaan barang pemerintah juga amburadul. Harga dimurahin supaya menang tender, tapi spek ngawur semua. Kalo itu masalah konstruksi, spek dikurang-kurangi sehingga penawaran terkesan terendah, tapi hasil konstruksi malah tidak terpakai. Membeli barang sebesar 10 ribu rupiah sekalipun akan menjadi pemborosan kalau baru sekali atau belum sempat dipakai sudah rusak. Konon menjadi kontraktor di Perancis luar biasa berat karena wajib memberi jaminan seumur hidup, bukan setahun atau dua tahun seperti di Indonesia. Harga jaminan seumur hidup itu sudah mereka hitung dan masukkan ke dalam penawaran. Kalau seperti itu, apakah bisa memberikan penawaran dengan banting harga?

Saya bukan ekonom, bukan seorang ahli hitung atau pengamat ekonomi. Saya hanyalah seorang penggemar dorayaki yang merasa kesal karena ada pedagang yang nggak paham spek dan menganggap semua beres dengan mengiming-imingi saya harga yang lebih murah 500 perak saja sementara mereka meraup keuntungan jauh lebih banyak daripada yang menjual lebih mahal 500 dari mereka. Sistem dagang apa itu?

Apa bagusnya berdagang dengan cara curang seperti itu. Saya nggak heran kalo model jualan dorayaki itu diterapkan di semua bidang industri, termasuk telekomunikasi kita yang udah sampe titik memuakkan. Kenapa memaksa diri melayani semua pengguna telepon, mulai dari pengangguran sampai presiden. Uang kita semua diterima, tapi service??? sedikit di atas nolll besar. Konon, soal perusahaan telekomunikasi itu juga erat dengan penerapan teori dorayaki tadi. Supaya harga jual bisa murah, gunakan mesin dari negeri seberang yang nggak jelas kualitasnya alias abal-abal. Akibatnya, judul paket internet apalah namanya, tetap saja kita tidak bisa gunakan. Memang pola ekonomi seperti itu pola ekonomi yang baik? Itu sama saja dengan perampokan uang masyarakat. Kalau itu pengadaan pemerintah, itu sama dengan kerugian Negara, seharusnya KPK menelusurinya.

Saya teringat salah satu kisah dimana seorang pedagang gula mengadu kepada Rasulullah. “Hai Rasulullah, pedagang di pasar tempat aku berjualan sekarang berlomba-lomba memberikan harga yang murah, namun mereka telah mengurangi timbangan mereka sebanyak 250 gram untuk setiap kilogramnya. Apa yang harus aku lakukan, haruskah aku lakukan yang sama ya Rasul. Pembeliku berangsur-angsur pindah ke tempat lain.”

Rasulullah menjawab, “Hai fulan, jangan pernah kau lakukan kecurangan seperti itu. Lebih baik kau tetap bertahan dengan hargamu tetapi berikan kelebihan timbangan untuk setiap kilogram yang kau jual. Insya Allah barang daganganmu akan semakin laris.”

Si fulan mempraktekkan yang disarankan Rasulullah, hasilnya, benar para pembeli yang semula beralih kembali berbelanja kepada si fulan setelah mereka menyadari kurangnya timbangan yang melebih keuntungan harga yang ditawarkan kepada mereka.

Demikianlah kurang lebih ilustrasi yang mungkin relevan dengan situasi perdagangan kita sekarang. Mohon maaf jika pada bagian percakapan Rasulullah dengan umatnya kurang akurat. Yang hendak saya kedepankan adalah hikmahnya. Berjualan itu profesi yang mulia, sangat mulia. Namun, Allah juga sudah memperingatkan para pedagang agar tidak melakukan kecurangan pada timbangan, termasuk di dalamnya sulap-sulapan harga padahal di sanalah terselip keuntungan tidak halal mereka. Yah itu bagi mereka yang masih percaya adanya surga dan neraka.

Rasuna, 18 Februari 2014

Nela Dusan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline