Lihat ke Halaman Asli

M Zuhriansah

Teacher and Writer

Dari Pesantren Meraih Asa dengan Iman

Diperbarui: 16 September 2024   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto zuhri

Perjalanan hidup saya dimulai dari sebuah pesantren sederhana, tempat di mana cahaya iman dan ilmu menerangi jalan menuju masa depan. Sejak kecil, orang tua saya telah mengarahkan langkah-langkah saya ke Pondok Pesantren Zulhijjah Batang Hari. Di sanalah saya menemukan cahaya, di mana segala sesuatu dapat berubah asalkan kita selalu dekat dengan Allah melalui belajar agama dan Al-Qur'an.

Di pesantren, saya sangat menggemari belajar Al-Qur'an. Ini tidak lepas dari peran orang tua saya yang telah terlebih dahulu mengajarkan Al-Qur'an sejak sebelum saya masuk pesantren. Mereka selalu mengingatkan saya untuk membaca dan mempelajari Al-Qur'an karena menurut mereka, itulah modal hidup yang sebenarnya. Disinilah bakat saya mulai terlihat. Saya sangat menggemari kegiatan tilawah Al-Qur'an, yaitu membaca Al-Qur'an dengan nada dan irama yang merdu. Sejak kelas 6 SD, saya sudah mengikuti berbagai event seperti Musabaqah Tilawatil Qur'an dan lomba adzan, dan seringkali menjadi juara. Namun, saya tidak pernah merasa puas. Saya terus bekerja keras dan berusaha untuk mengembangkan diri lebih baik lagi.

Al-Qur'an juga yang mengubah hidup saya dan membawa saya merantau ke Jakarta. Sebelum ke Jakarta, saya selalu berpikir bahwa jika saya hidup bersama Al-Qur'an, Allah akan selalu membantu. Walaupun harus memulai dari nol lagi, saya yakin dengan tekad dan usaha, segalanya akan menjadi mungkin. Di Jakarta, saya melanjutkan studi di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an, sebuah kampus yang berfokus pada studi Al-Qur'an.

Tidak ada yang tidak mungkin jika seseorang memiliki keinginan dan tekad yang kuat. Di pesantren, saya menemukan cahaya, di mana semua dapat berubah asalkan kita selalu dekat dengan Allah. Saya tidak pernah merasa puas dan selalu bekerja keras. Prinsip ini saya pegang teguh selama belajar di pesantren. Berbagai rintangan saya hadapi dengan sabar. Saya ingat, pernah suatu ketika, jika uang jajan belum dikirim, saya hanya makan nasi dengan garam atau sambal dari cabai yang saya petik dan minta dari warga yang baik hati.

Berbagai cibiran dan kata-kata yang meremehkan dari orang lain sering kali saya terima. Mereka meragukan kemampuan saya karena kami berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun, saya tidak membiarkan hal tersebut mematahkan semangat saya. Saya selalu berdoa, "Ya Allah, tolong angkat derajat kedua orangtua saya, dan bungkamlah mulut mereka yang meragukan kekuasaan-Mu dalam memudahkan segala urusan hamba-Mu."

Di pesantren, kami harus mengantri untuk mandi setiap hari. Di sana, rasa semangat dan kekeluargaan tumbuh di antara saya dan teman-teman. Saya yakin perjuangan yang sedang kami jalani saat itu akan membuahkan hasil. Terkadang, kemampuan saya dianggap remeh oleh teman bahkan guru. Saya pernah dibully karena penampilan saya yang hitam dan karena berasal dari kampung yang jauh dari perkotaan. Namun, dari situ, saya menguatkan tekad untuk terus berjuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline