Lihat ke Halaman Asli

"Negeri 5 Menara," Hikmah Dibalik Mantra Sakti “Man Jadda Wa Jada”

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13324044951945777509

Negeri 5 Negara adalah sebuah film yang di sutradarai oleh Affandi Abdul Rachman dan merupakan sebuah film yang diangkat dari novel yang berjudul  sama karya Ahmad Fuadi yang mulai dicetak bulan Juli tahun 2009 dan filmnya dirilis 1 Maret 2012. Genre film ini adalah drama dengan durasi tayang 100 menit. Digarap oleh Million Pictures dan KG Production. Film Negeri 5 Menara ini diperankan dengan bagus oleh artis-artis senior Indonesia tahun 90-an dan pemain Sahibul Menara diperoleh dengan casting. Mereka yaitu Ikang Fauzi sebagai Kiai Rais, Lulu Tobing semagai Amak Alif, David Chalik sebagai ayah Alif, Donny Alamsyah, Ariyo Wahab, Andhika Pratama, Mario Irwinsyah, Inez Tagor sebagai istri Kiai Rais, Gazza Zubizareta sebagai Alif Fikri, Billy Sandy sebagai Baso Salahudin, Ernest Samudra sebagai Said Jufri, Rizky Ramdani sebagai Atang, Jiofani Lubis sebagai Raja Lubis, Aris Putra sebagai Dulmajid, Eriska Rein, Sakurta Ginting. Novel Negeri 5 Menara terinspirasi oleh pengalaman pribadi penulis menikmati pendidikan yang mencerahkan di Pondok Modern Gontor. Setting lokasi film awal yaitu di ranah Minangkabau sekitar Danau Maninjau nan indah pada tahun 80-an. Diawali dua bocah berseragam sekolah yang dicorat-coret spidol warna-warni sebagaimana “sebuah tradisi kelulusan anak sekolah”. Mereka berdua bersahabat. Keduanya memacu sepeda bututnya meniti pematang sawah menuju dermaga bambu tepi Danau Maninjau. Setelah sampai di ujung dermaga, mereka berhenti dan berteriak sekencang-kencangnya sebagai ungkapan rasa kegembiraan yang luar biasa atas kelulusan sekolah mereka, dan kedua bocah kampung tadi ternyata mempunyai mimpi yang tinggi  untuk dapat melanjutkan sekolah di tanah Jawa. Mereka bahkan berteriak kencang suatu kelak untuk bisa masuk di ITB ingin menjadi seperti B.J. Habibie, Institut Teknogi Bandung yang mempunyai nama besar itu. Alif Fikri, salah satu dari kedua anak tersebut kemudian pulang ke rumah, mendapati amak (panggilan untuk Ibu di sebagian besar daerah di Minang) dan ayahnya sedang berembug serius untuk merencanakan pendidikan Alif lebih lanjut di Tanah Jawa, tapi bukan di lembaga pendidikan umum seperti mimpi Alif di ITB. Tempat pendidikan yang direncanakan orang tuanya adalah lembaga pendidikan agama alias pesantren. Karena mereka sangat ingin Alif kelak menjadi tokoh nasional dan bermanfaat bagi banyak orang seperti Bung Hatta dan Buya Hamka. Kenyataan ini membuat Alif kaget sehingga membuatnya mengurung diri di dalam kamar. Untuk membiayai sekolah Alif lebih lanjut, kerbau satu-satunya milik keluarga dijual oleh ayah Alif.  Ayah Alif menasehati agar sesuatu yang positif harus dicoba dulu, ya dicoba dulu, hasilnya nanti. Alif pun mencoba menerima dengan setengah hati, dan menjalani keputusan orangtuanya bersekolah di Pondok Madani, sebuah pesantren di sudut kota Ponorogo, Jawa Timur. Alif diantar ayahnya pergi menuju tanah Jawa. Ponorogo, sebuah kabupaten di Jawa Timur, menjadi tujuan akhir mereka berdua, dan di kota itu mereka menuju sebuah pondok pesantren yang bernama Pesantren Madani (setting lokasi film pondok tersebut di Pondok Pesantren Gontor). Di sebuah sisi Pesantren ini, tertulis besar “Ke Madani, Apa yang Kau Cari?” Suasana khas pondok pesantren modern segera menyambut bapak – anak tadi, bukan lagi para santri bersarung dan bersandal jepit, tetapi pemandangan ratusan santri yang berkemeja lengan panjang dan bercelana panjang rapi, memakai ikat pinggang dengan gesper yang seragam, peci hitam, dan bersepatu hitam mengkilat.  Begitu juga para ustadz yang bahkan lebih necis, untuk kegiatan kerja harian mereka selalu mengenakan jas dan dasi, bercelana rapih, berpeci hitam, dan bersepatu hitam. Sentral pondok adalah sebuah masjid besar berlantai dua dengan kubah megah dan menara kokoh yang menjulang tinggi ke langit. Tidak semua yang mendaftar di Pondok Madani ini diterima, namun ada test masuknya dan dari ribuan calon santri yang mendaftar, hanya ratusan yang diterima. Alif akhirnya lulus ujian tertulis masuk pesantren tersebut, dan sepeninggal   ayahnya kembali ke ranah Minang. Disinilah perjalanan Alif dimulai. Alif segera berinteraksi dengan para santri lainnya, yang berasal dari berbagai pelosok tanah air.   Namun hanya lima  santri yang sangat dekat Alif, karena mereka satu kamar, yaitu: Raja Lubis dari Medan Sumatera Utara, Said Jufri dari Surabaya Jawa Timur, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung Jawa Barat, dan Baso Salahuddin dari Gowa, Sulawesi Selatan. Enam sekawan tersebut sangat akrab satu sama lain, dengan karakter masing-masing yang kadang menimbulkan kelucuan karena kepolosan mereka sebagai anak daerah. Dalam film ini, para pemirsa bisa melihat kesungguhan dan kerja keras 6 sahabat tersebut di tanah asing, bagaimana mereka sangat bersungguh-sungguh dalam mencapai impian mereka. Belajar di Pondok Madani ini selama empat tahun, atau dengan kata lain setahun lebih lama daripada belajar di sekolah tingkat menengah atas lainnya. Pelajaran pertama yang diterima Alif dan kawan-kawannya di kelas Pondok Madani disampaikan oleh ustadz Salman. Ustadz Salman memulai pelajarannya bukan menulis pelajaran di papan tulis atau meminta para santri membuka buku. Tapi dia membawa sebatang kayu sebesar lengan orang dewasa dan sebilah pedang panjang. Para santri melongo tidak paham apa yang akan dilakukan gurunya itu. Ustadz itu kemudian menebas batang kayu tadi beberapa kali hingga akhirnya putus. Ia kemudian berkata. “Bukan yang paling tajam, tapi yang paling bersungguh-sungguh  yang akan berhasil memotong kayu ini !!” Kemudian ustadz tadi menyambung kalimatnya, “Man Jadda wa Jada” (sebuah ungkapan bahasa Arab yang artinya – Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil). Ustadz Salman akhirnya berhasil memberikan pondasi kepada para santrinya untuk bersungguh-sungguh dalam berusaha, sebelum mereka menimba ilmu di pondok Madani. Para santri kemudian meneriakkan “Man Jadda wa Jada” secara berulang-ulang dalam kelas tadi.

13324047013720946

Dinamika kehidupan pesantren mulai dijalani Alif dan kawan-kawannya. Seperti tidur bersama di lantai beralas tikar dengan penerangan lampu teplok, karena lampu listrik sering padam disebabkan genset tua milik pondok yang sering macet, makan dan minum bersama-sama, antre untuk mendapatkan makanan dan menunya sangat sederhana. Peraturan jam belajar pondok yang amat ketat, sehingga ketika lonceng tua sudah dibunyikan petugas, maka berlari terbirit-biritlah para santri dan meninggalkan segala aktivitas yang sedang dilakukan menuju kelas untuk mulai belajar. Belum lagi ada ustadz yang dijuluki santri dengan “Mike Tyson” karena agak “killer” sering menghukum para santri yang tidak tertib.  Namun sebenarnya sentral tokoh pondok ada di Kiai Rais (pimpinan pondok dan para guru – yang diperankan Ikang Fawzi). Enam sekawan tadi pernah “protes” ke Kiai Rais mengapa genset sering macet. Kiai tadi malah bilang “jika berani protes harus bisa memberikan solusi, tidak hanya protes saja”. Akhirnya Alif dan kawan-kawannya berupaya dengan sungguh-sungguh dan berhasil memperbaiki genset tua tadi kembali berfungsi. Dan yang memberikan inspirasi kuat bagi mereka adalah mantra sakti “Man Jadda wa Jada”.

13324047391975305799

Pada kesempatan lain Kiai Rais memberikan petuah kepada Alif, “jadilah orang besar”. Orang besar adalah bukan pemimpin partai atau negara, dan lain-lain, tetapi orang yang secara ikhlas mau memberikan ilmunya kepada orang yang membutuhkan di pelosok desa-desa.  Namun demikian, pernah ada kebimbangan Alif untuk kembali meraih mimpinya ke ITB, namun akhirnya ia sadar kembali bahwa jalan yang sedang ia lakukan di pondok adalah yang terbaik saat ini. Ternyata kehidupan di dalam pondok tidak selamanya membosankan, lain dengan gambaran awal Alif. Di sana ada berbagai aktivitas umum yang dapat diikuti para santri sesuai bakat dan hobinya. Seperti berbagai jenis olah raga, seni musik/ band, lomba pidato bahasa Inggris dan jurnalistik. Alif tertarik untuk menjadi seorang jurnalis, sehingga ketika ujian untuk bergabung dalam tim redaksi majalah pondok, ia diberi tugas untuk mewancarai Kiai Rais yang amat disegani itu. Salah satu pertanyaan yang menggelitik sang kiai, ketika Alif menanyakan apakan ustadz di pondok ini dibayar, dan berapa gajinya. Yang ternyata dijawab sang kiai bahwa para ustadz tidak digaji. Kesempatan emas dapat mewancarai kiai utama ini dimanfaatkan Alif untuk bisa bertemu dengan gadis manis keponakan kiai. Sehingga mereka saling berkenalan. Enam sekawan tadi ketika sedang istirahat siang, sering duduk-duduk di bawah menara masjid pondok, mata mereka menerawang jauh ke langit biru yang berawan. Masing-masing berkhayal bahwa gumpalan-gumpalan awan di langit itu bak peta dunia. Ada yang berkhayal itu adalah benua Amerika, Eropa, Asia, Australia dan pulau-pulau di Indonesia.  Mereka berharap suatu saat kelak menjadi orang sukses dan berpencar ke beberapa negara di  dunia dan berfoto di samping menara yang ada di negara tersebut, serta akan saling bertukar foto, sebagai bukti keberadaan dan kesuksesan mereka masing-masing. Alif melihat awan seperti benua Amerika, Raja melihat awan seperi benua Eropa, berkhayal tentang kerajaan Inggris dengan Big Ben yang cantik dan bagian rute jalan kaki dari Buckingham Palace ke Trafalgar Square. Atang dan Baso merasa awan-awan itu bergerumbul membentuk kontinen Asia dan Afrika.  Sementara itu, Said dan Dulmajid menganggap awan-awan itu adalah Indonesia.  Karena seringnya mereka berkumpul di kaki menara, kawan-kawannya menggelari mereka dengan Sahibul Menara yang artinya orang yang memiliki menara. Dalam bahasa Arab, kata sahibul sering digunakan untuk menyatakan kepunyaan. Ya, kembali mantra sakti “Man Jadda wa Jada” sebagai spirit utama keenam santri itu. Inilah inti dari film “Negeri 5 Menara”.

133240478080158946

Ada bagian adegan yang mengharukan, yaitu ketika Baso, salah satu Sahibul Menara terpaksa harus pergi dari pondok ini untuk pulang kampung selamanya, karena harus menunggu neneknya yang sudah renta dan sakit-sakitan di Gowa, Sulawesi. Padahal tidak sampai setahun lagi kelulusan belajarnya di Pondok madani. Baso yang kerap menjadi penengah dan paling bijaksana diantara mereka, Baso yang paling rajin untuk belajar, mengaji dan sholat dan nilainya selalu bagus, Baso yang ingin selama di Pondok Madani bisa menghafal 30 juz Al Qur’an namun baru dapat menghafal 10 juz (sekitar 2000 ayat) karena ingin dapat memberikan jubah kemuliaan di surga untuk kedua orang tuanya yang telah meninggal ketika ibunya melahirkannya dan ayahnya meninggal ketika ia berusia 4 tahun (dalam hadist : kalau seorang anak menghafal Al-Qur’an, maka kedua orang tuanya akan mendapat jubah kemuliaan di akhirat nanti, keselamatan akhirat untuk kedua orangtuanya).  Kemudian pulanglah Baso ke Gowa, dan seminggu kemudian ada surat dari Baso yang menyatakan bahwa Baso sekarang menjadi guru pengajar Bahasa Arab di Gowa.  Akhir cerita, pondok mengadakan acara kesenian yang diikuti para wakil santri. Alif dan 3 kawan karibnya serta dibantu santri lain memerankan lakon Ibnu Batutah (pengelana muslim dari Maroko yang mengarungi hampir seluruh jazirah Arab sampai di Asia) sebagai penutup dari acara kesenian ini, di selingi dengan atraksi barongsai China. Tampak pesan yang ditampilkan adalah Islam menerima pluralisme etnis, budaya dan agama. Pementasan kesenian ini mendapatkan apresiasi yang sangat meriah dari semua penonton, tak terkecuali Kiai Rais. Ending film ini kurang mewakili dari judulnya.  Alif yang sudah menjadi “orang sukses” yakni jurnalis internasional sedang meliput suatu acara United Union (PBB) di London, tiba-tiba dapat bertemu dua sahabar Sahibul Menara nya yang sudah sukses juga, di menara Trafalgar Square, London (bukan Big Ben seperti di gambar film atau novel). Dan tiba-tiba dihubungi via handphone dua rekan karib pondoknya di Jakarta, sehingga mereka reunian, meski  sebagian terpisah jauh. Selesai. Film yang sarat dengan inspirasi tentang tekad, kerja keras, dan persaudaraan ini mempunyai hikmah yang dapat diambil, yaitu: 1. Sebuah film cerita  kehidupan seorang anak kurang mampu dari desa yang mempunyai keinginan dan usaha sungguh-sungguh untuk sukses. 2. Sesuatu yang positif harus dicoba dulu, meski kadang tampak tidak menjanjikan. 3. Siapa yang bersungguh-sungguh/ fokus, pasti akan berhasil. 4. Hidup ini indah dan memiliki cita-cita setinggi langit adalah sesuatu yang memungkinkan. Modalnya  hanya berani bermimpi, lalu berusaha, bekerja keras dan menggenapkan dengan do’a. 5. Haqqul yakin, kombinasi patuh kepada Ibu, hormat kepada guru dan usaha pantang menyerah adalah rumus sukses. 6. Orang besar bukan pemimpin partai, direktur utama, dan lain-lain saja, tetapi mereka mau          memberikan ilmunya secara ikhlas kepada orang yang membutuhkan di pelosok          negeri. 7. Kalau ingin sukses dan berprestasi dalam bidang apapun, maka lakukanlah dengan prinsip “saajtahidu fauqa mustawa al akhar”. Bahwa aku akan berjuang dengan usaha di atas rata-rata yang dilakukan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline