Lihat ke Halaman Asli

Aktivis Mahasiswa Kok Golput?

Diperbarui: 25 Februari 2019   21:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pribadi

oleh: Negara Rofiq

Sebuah catatan tentang sikap golput dan apatisnya aktivis Mahasiswa menghadapi pemilu 2019 di Jember.

Dalam dunia kampus tidak asing dengan istilah aktivis Mahasiswa. Disadari atau tidak, perannya dirasa sangat vital dalam mengawal kehidupan demokrasi, baik dalam kehidupan di kampus maupun dalam tatanan kemasyarakatan. Lalu bagaimana jika aktivis Mahasiswa yang dengan prinsipnya mengawal demokrasi malah bersikap golput dan apatis menghadapi pemilihan Legislatif dan Presiden 2019?

Bagi mahasiswa rantau, pemerintah Indonesia melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan dispensasi berupa Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Jadi, dengan surat rekomomendasi DPTb dari KPU ini, mahasiswa rantau yang domisili asalnya jauh dan tidak memungkinkan untuk pulang saat pemilu, tetap dapat menggunakan hak suaranya ditempat Mahasiswa itu tinggal sekarang. 

Tapi, meskipun sudah diberi dispensasi oleh KPU, animo dan apresiasi Mahasiswa terhadap DPTb  masih kurang, dalam artian apatisme masih membelenggu pikiran Mahasiswa masa kini. Juga, lebih-lebih mahasiswa yang sering menamakan dirinya aktivis malah tidak bersikap sebagaimana aktivis merevitalisasi nilai demokrasi.

Aktivis dan Salahnya Prinsip Revitalisasi Demokrasi

Aktivis secara garis besar berarti orang yang aktif, dikenal dengan sikap berani dalam mengkritisi kebijakan yang dianggap salah atau merugikan. 

Tapi akhir-akhir ini kemilitanan aktivis perlu dipertanyakan. Jika membandingkan antara aktivis mahasiswa masa kini dengan aktivis 98, sulit rasanya menerima realita bahwa aktivis sekarang hanya idealis ketika ada oligarki dibelakangnya. Maaf kalau anda tidak setuju.

Dari cara pandang penulis, secara tersirat aktivis mahasiswa masa kini mempunyai prinsip "menyusahkan orang senang". Jika prinsip ini tetap dipegang, maka kehidupan aktivis hanya bergelut dalam bidang penolakan kebijakan terhadap pemangku kepentingan. Sehingga jika dihadapkan pada revitalisasi demokrasi dari tatanan kampus, mereka apatis. Juga, Pemilihan Legislatif dan pemilihan presiden seperti ini, para aktivis akan berpikir "Yang nyalonin itu cuma cari uang, jadi ngapin memilih". 

Golput adalah hal yang tidak baik. Dalam Islam sendiri mengajarkan, jika ada 2 orang yang harus dipilih menjadi pemimpin, maka pilihlah yang baik. Dan jika keduanya buruk, maka pilihlah yang sedikit mudharatnya. Dalam situasi dan kondisi apapun, agama Islam tidak pernah mengajarkan masyarakat untuk golput.

Syahrial Loetan, mantan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah mengatakan setidaknya terdapat 3 dampak negatif dari sikap Golput oleh warga Negara. Pertama, program pembangunan yang disiapkan oleh Presiden terpilih berpotensi tidak didukung oleh mayoritas penduduk. Salah satu alasannya adalah karena penduduk yang tidak menggunakan hak suaranya tidak merasa menjadi bagian dari program tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline