Enigma, itulah yang dapat saya simpulkan ketika terjadi kerusuhan di beberapa kawasan di Jakarta pada tanggal 21-22 Mei silam. Sebuah teka-teki kompleks yang mampu sebabkan aksi damai di depan Bawaslu berubah menjadi kerusuhan. Coba kita semua bayangkan, siang hari aksi yang dilakukan berjalan dengan tertib, tapi malam harinya berubah menjadi kekacauan. Terlebih lagi, dengan adanya temuan senjata api dalam kerusuhan tersebut. Oleh karena itu, setelah penyelidikan yang mendalam, pemerintah lewat TNI-Polri beberkan kronologi tentang apa yang terjadi di kedua hari itu.
Hari ini, 11 Juni 2019, TNI-Polri lakukan konferensi pers tentang hal-hal yang mereka temukan terkait kerusuhan 21-22 Mei. Pihak TNI-Polri umumkan bahwa massa sebanyak 3000 orang melakukan aksi damai di depan Bawaslu hingga pukul 21.00 di tanggal 21. Setelah sholat tarawih berjamaah, massa pun membubarkan diri. Akan tetapi, sekitar 1 jam kemudian, tanpa ada peringatan, 500 orang massa memprovokasi aparat dan melakukan kerusuhan dan berlangsung hingga Subuh. Kerusuhan pun berlanjut di tanggal 22, di beberapa tempat di Jakarta seperti Petamburan dan Slipi.
Temuan Senjata Soenarko
Aparat TNI-Polri sebenarnya telah mengendus adanya pemboncengan massa aksi damai 22 Mei. Sebelum tanggal 22 Mei, mereka telah melakukan pengamanan ibukota guna mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pengamanan ini membuahkan hasil lewat temuan senjata api (senpi) yang diselundupkan dari Aceh pada 15 Mei 2019. Kombes Daddy Hartadi mengungkapkan bahwa diduga penyelundupan senjata tersebut dilakukan oleh Purn Soenarko dan tersangka HR. Penanganan kasus penyeludupan ini menjadi wewenang Bareskrim Polri karena surat dari Danpuspom (Komandan Pusat Polisi Militer) TNI kepada Kapolri perihal hasil penyelidikan Pom TNI terhadap perkara pengiriman senpi yg diduga melibatkan oknum militer. Dugaan pidananya adalah tanpa hak menerima, menyimpan, menguasai, membawa, menyembunyikan, menyerahkan dan atau mencoba menyerahkan senpi ilegal sebagaimana Pasal 1 UU Darurat 1951.
Senpi tersebut adalah milik Soenarko, berasal dari sitaan GAM Aceh. Akan tetapi, dimiliki secara tanpa hak semenjak Soenarko pensiun tanggal 1 September 2011. Pada awal April 2019, Soenarko meminta HR agar senpi itu dikirimkan ke Jakarta. Pengiriman senjata seperti itu memerlukan surat security item. Akan tetapi karena senpi itu bersifat ilegal, maka HR meminta bantuan B untuk membuat surat security item. B lantas membuat surat keterangan palsu atas nama Kabinda (Kepala Badan Intelijen Daerah) Aceh. Padahal, Soenarko tidak menjabat sebagai Kabinda, terlebih lagi ia telah pensiun. Sebagai informasi, senpi dari Aceh itu menyerupai M4 Carbine dan dapat berfungsi dengan baik. Ketika dimintai keterangan terkait senpi tersebut, ia membenarkan bahwa itu miliknya dan ia menjelaskan kadang senjata itu disebut dengan M4, M16, atau Baby M16.
Senjata Percobaan Pembunuhan 4 Jenderal
Akan tetapi, kerusuhan 21-22 Mei tetap saja terjadi, bahkan aparat menangkap pihak yang ingin membuat martir serta merencanakan pembunuhan terhadap 4 orang tokoh nasional beserta 1 orang pimpinan lembaga survei. Percobaan pembunuhan itu pun menggunakan senpi sebagai medianya. Tersangkanya sudah terungkap, diantaranya adalah HK yang bertugas sebagai pemimpin eksekutor. Ia ditangkap karena ujaran kebencian serta kepemilikan senjata api dan erat kaitannya dengan Kivlan Zen. Ia diberi uang 150 juta untuk pembelian senjata. Kedua adalah tersangka IR yang bertugas memfoto dan memvideokan rumah dari Yunarto Wijaya seorang Direktur Eksekutif Charta Politica. Ia mengatakan Kivlan Zen menjanjikan bila ada yang bisa mengeksekusi Yunarto, maka Kivlan akan menjamin keluarga dari eksekutor dapat berlibur ke mana pun mereka mau. Tak ketinggalan pula tersangka TJ yang mendapatkan perintah dari Kivlan Zen melalui HS sebagai eksekutor 4 tokoh nasional. Ia dijanjikan uang tunai 55 juta apabila berhasil menjalankan aksinya.
Berdasarkan pengakuan para tersangka, maka aparat menangkap Kivlan Zen. Kivlan Zen telah memberikan perintah untuk mencari eksekutor. Ia telah memberikan uang 150 juta untuk membeli senpi. Terakhir, ia telah berikan target operasi.
Selain itu, ada lagi tersangka HM yang berperan memberikan uang ke Kivlan Zen. HM juga telah memberikan uang 60 juta secara langsung ke HK untuk biaya operasional.
Pertanyaan Awak Media
Setelah paparan tersebut, Kadiv Humas Polri M. Iqbal pun mempersilakan awak media untuk melakukan sesi tanya jawab. Salah satunya adalah terkait mantan Polda Metro Jaya yang ditetapkan menjadi tersangka karena kasus makar. M. Iqbal membenarkan kabar tersebut. Menurutnya, aparat tidak tebang pilih dalam menangani kasus pelanggaran hukum. Contohnya tidak hanya ada pada mantan Polda Metro Jaya, tetapi juag pada tindakan arogan oknum polisi terhadap perwira tinggi TNI di Cilacap. Aparat telah melaksanakan pemeriksaan dan akan membawa oknum itu ke sidang disiplin maupun kode etik. Anggota yang bertindak arogan akan ditindak tegas.
Terkait investigasi Tempo mengenai keterlibatan F (salah satu anggota Tim Mawar) dalam mengerahkan massa rusuh 21-22 Mei, pihak aparat mengatakan akan memanggil F untuk dimintai keterangan. Informasi dari media tersebut menurut Iqbal merupakan petunjuk bagi penyelidikan.
Pertanyaan berikutnya adalah mengenai 9 korban jiwa saat kerusuhan. Pihak aparat menduga bahwa 9 orang tersebut adalah perusuh. Investigasi secara komprehensif masih terus berlanjut dan tidak hanya fokus pada 9 korban ini.
TNI-Polri juga menjawab mengenai upaya-upaya yang terus dilakukan untuk membenturkan TNI dengan Polri. Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi mengatakan bahwa berita hoax tidak akan mampu memporak-porandakan soliditas TNI. Terutama TNI dan Polri.