Abu Bakar Baasyir nampaknya akan merasakan udara bebas tidak lama lagi. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk membebaskan Abu Bakar Baasyir yang dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.
Alasannya adalah Abu Bakar Baasyir kini telah berusia senja dan kesehatannya semakin menurun. Sehingga, melihat dari sudut pandang kemanusiaan dan mengingat usianya yang telah berumur 81 tahun, presiden memutuskan untuk membebaskannya. Abu Bakar Baasyir sendiri kini tengah menjalani masa hukuman tahun ke-9 dari vonis 15 tahun penjara atas tuduhan terorisme.
Abu Bakar Baasyir memiliki rekam jejak sebagai orang yang tidak mau setia pada Pancasila. Ia memiliki keyakinan terhadap konstitusi yang mendukung negara Islam atau kekhilafan.
Bahkan setelah menjalani masa hukuman penjara yang lama, Baasyir tetap menolak membuat pernyataan tertulis untuk setia pada ideologi Pancasila. Penolakan itu ia sampaikan melalui penasihat hukum Presiden Jokowi, Yusril Ihza Mahendra. Yusril menyampaikan bahwa Abu Bakar Baasyir hanya setia pada Allah, hanya patuh pada Allah, dan tidak akan patuh pada selain itu.
Pengamat terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak berpendapat bahwa idealisme tersebut sudah menjadi jalan hidup Baasyir sejak masa Orde Baru. Dia menambahkan bahwa Baasyir memegang teguh konsep hakimiyyah hingga kini.
Artinya adalah Allah sebagai pemegang kuasa, bukan manusia lewat produk undang-undangnya. Putra Baasyir, Abdul Rochim menegaskan bahwa ayahnya tidak pernah menolak keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, ia memang tak mau menyatakan kesetiaannya pada Pancasila.
Apabila melihat paparan tersebut, maka banyak dari kita yang mungkin mempertanyakan mengapa selain alasan kemanusiaan, Presiden Jokowi memilih untuk membebaskan Abu Bakar Baasyir? Padahal ia adalah salah satu tokoh yang menolak untuk setia pada Pancasila. Mirip dengan keinginan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pada 19 Juli 2017 yang lalu.
Majelis hakim pernah membeberkan beberapa fakta terkait pengesahan pembubaran HTI. Majelis menganggap perjuangan HTI bertentangan dengan nilai demokrasi Pancasila karena ingin mendirikan negara khilafah. Ketua majelis hakim saat itu Tri Cahya Indra Permana menyatakan bahwa "HTI telah terbukti ingin mendirikan negara khilafah Islamiyah di NKRI tanpa ikut pemilu dan hal tersebut sudah dalam bentuk aksi dan bukan hanya konsep atau pemikiran".
Sehingga, dapat kita analisa apa yang menjadi dasar Presiden Jokowi agar tetap membiarkan bebas seorang individu yang menolak setia pada Pancasila. Bagi Jokowi, tidak menjadi suatu masalah seorang individu menolak Pancasila, asalkan dia tidak melakukannya secara organisasi.
Berbeda dengan HTI, organisasi ini dibubarkan karena HTI adalah organisasi yang mengorganisir pemikiran individu-individu untuk mengubah Pancasila sebagai dasar negara NKRI. Apabila seorang Abu Bakar Baasyir membentuk organisasi dan menggalang massa untuk mengganti Pancasila, tentu saja ia akan kembali dijebloskan ke dalam jeruji besi.
Inilah bentuk dari demokratisnya seorang Jokowi. Kebebasan berbeda pendapat secara individu ia hargai dan tetap boleh hidup. Tidak menjadi masalah apabila individu itu tidak Pancasilais. Tetapi, apabila individu anti Pancasila mengorganisir diri seperti contoh kasus HTI, tentu ini yang tidak boleh. Justru hal seperti inilah yang dilarang dan hanya akan menjadi duri dalam daging bagi NKRI. Jangan samakan individu anti Pancasila seperti Abu Bakar Baasyir dengan organisasi anti Pancasila seperti HTI.