Lihat ke Halaman Asli

Negara Baru

Tentang Saya

Investasi Tangguh Kala Pandemi, Anti Jebakan Jiwasraya

Diperbarui: 17 Juli 2020   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jiwasraya. mediaindonesia.com


Skandal gagal bayar Jiwasraya menjadi pemicu terkuaknya berbagai kasus gagal bayar yang terjadi pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Apakah pandemi corona yang menyebabkan banyaknya perusahaan finansial yang kolaps? Bukan.

Kasus gagal bayar polis asuransi Jiwasraya menyeret beberapa nama ke meja hijau. Mereka pernah bekerja di perusahaan berpelat merah itu. Yakni mantan Direktur Utama Hendrisman Rahim, eks Direktur Keuangan Harry Prasetyo, dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Syahmirwan. Selain itu ada juga tersangka lainnya dari luar Jiwasraya, yakni Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat, dan Komisaris PT Hanson Internasional Tbk, Benny Tjokrosaputro.
Keterkaitan Benny Tjokro menarik untuk disimak, sebab ia kini menjadi episentrum dari skandal Jiwasraya bahkan turut menarik Asabri ke dalam pusarannya.

Kasus Jiwasraya mulai menjadi perhatian publik saat perusahaan mengumumkan ketidakmampuannya membayar klaim polis JS Saving Plan yang telah jatuh tempo sebesar 802 miliar rupiah pada 10 Oktober 2018 lalu. Sepekan kemudian, Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno melaporkan dugaan fraud dalam pengelolaan investasi Jiwasraya.

Berdasarkan rujukan dari audit BPK 2016, ternyata sebagian besar ketidakmampuan Jiwasraya membayar klaim polis JS Saving Plan disebabkan investasi Jiwasraya dalam bentuk surat utang jangka menengah alias medium term notes (MTN) milik Hanson International senilai 680 miliar rupiah yang berisiko gagal bayar. Meski Hanson International menyatakan telah melakukan buy back seluruh surat utang itu pada Desember 2018.

Jiwasraya sendiri mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Pada tahun 2018, sebanyak 22,4 % atau 5,7 triliun rupiah total aset finansial Jiwasraya ditempatkan di saham. Akan tetapi hanya 5 % saham yang masuk ke dalam kategori blue chip. Lalu sebanyak 59,1 % atau 14,9 triliun rupiah ditanamkan ke reksa dana yang hanya 2 % dikelola oleh top tier manajemen investasi. Akibatnya Jiwasraya mengalami kerugian dan modalnya minus. Per September 2019. Aset perusahaan hanya senilai 25,68 triliun rupiah dengan kewajiban 49,6 triliun rupiah. Dengan kata lain, ekuitasnya negatif 23,92 triliun rupiah.

Uniknya, Jiwasraya juga memiliki saham Hanson dengan kode MYRX melalui reksa dana. Padahal secara fundamental dan teknis saham, MYRX tak layak dikoleksi karena ia merupakan saham gocap. Ternyata, saham Hanson milik Benny Tjokro sebesar 5,4 % dimiliki pula oleh Asabri yang memiliki kasus serupa dengan Jiwasraya.

Sumber : KataData [Benny Tjokro dan Saham Gocap di Pusaran Investasi Jiwasraya dan Asabri]

Bak monyet menjadi kera, terungkapnya investasi gorengan Jiwasraya pada perusahaan milik Benny Tjokro yang nilai sahamnya hanya gocap per lembar mengingatkan kita pada nilai saham Grup Bakrie. Ironis, kesamaan itu ternyata memiliki hubungan pula dalam skandal Jiwasraya. Benny Tjokro membeberkan bahwa Grup Bakrie terlibat pula dalam pengaturan saham Jiwasraya. Ia hanya merasa sebagai kambing hitam. Menurutnya Grup Bakrie telah menyebabkan kerugian Jiwasraya sejak 2006, namun sengaja ditutupi BPK. Benarkah? Bisa ya, bisa tidak.

Sumber : Kompas [Grup Bakrie di Pusaran Kasus Jiwasraya]

Kasus gagal bayar Jiwasraya membuka sudut pandang kita bahwa sebenarnya gagal bayar polis asuransi tidak terjadi karena pandemi Covid-19. Ia terjadi karena memang persoalan gagal bayar datang dari dalam perusahaan itu sendiri. Ia terjadi karena kegagalan tata kelola perusahaan di industri keuangan terutama non-bank.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline