Visi tanpa eksekusi hanyalah halusinasi. Kalimat itu sudah berkali-kali diucapkan oleh orang-orang terkenal di dunia. Salah satunya oleh Henry Ford, seorang pengusaha sukses otomotif asal Amerika Serikat. Kita semua tentu membayangkan, ucapan itu berlaku di dunia usaha seperti yang digeluti oleh Ford. Namun ternyata, kalimat itu memiliki cakupan yang jauh lebih luas. Ia dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya terkait penanganan pandemi corona di Indonesia.
Wabah corona seakan tak ada habisnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memutus rantai penyebarannya. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya dipilih pemerintah sebagai senjata pamungkas. Di atas kertas, PSBB sangat ideal diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia. Para pengamat telah memprediksi apabila PSBB diaplikasikan dengan benar, maka Juni 2020, Indonesia akan terbebas dari corona.
Bahkan Presiden Jokowi memaksa target penurunan kasus Covid-19 dapat tercapai pada bulan Mei ini. Pada Sidang Kabinet Paripurna Pagu Indikatif RAPBN 2021 di Istana Negara, 6 Mei 2020, ia berharap kasus Covid-19 memasuki posisi sedang pada bulan Juni 2020, dan mencapai posisi ringan pada Juli 2020. Mantan Gubernur DKI ini meyakini jika semua pihak disiplin menjalankan protokol kesehatan, maka penyebaran corona dapat ditekan.
Sumber : CNN Indonesia [Jokowi: Kurva Corona Harus Turun Bulan Mei dengan Cara Apapun]
Visi atau harapan Presiden sudah baik. Tapi apakah akan sesuai dengan kenyataan nanti? Sementara eksekusi guna mencapai visi tersebut masih amburadul. Kita mulai dari PSBB. Sudah lebih dari sebulan PSBB berlaku, namun pelanggaran demi pelanggaran PSBB terutama di daerah non-Jabodetabek terus terjadi. Menurut politikus PDIP Sri Rahayu, masyarakat seperti abai dalam menerapkan physical distancing. Perusahaan-perusahaan padat karya seperti pabrik rokok juga masih beroperasi. Belum lagi kegiatan keagamaan yang masih melanggar prinsip yang tertuang dalam PSBB.
Sumber : Bisnis [PSBB Lebih dari Sebulan, Pelanggaran Masih Banyak, APD Kurang]
Hal tersebut menunjukkan bahwa PSBB yang seharusnya dapat diterapkan sebagaimana mestinya, telah dimodifikasi dan tak lagi utuh sesuai dengan arahan pemerintah pusat. Sebab, bagaimana mungkin perusahaan padat karya tidak esensial dapat beroperasi di tengah PSBB tanpa persetujuan dari Pemerintah Daerah setempat.
Lantas apakah hanya korporasi yang bersalah? Tidak juga. Seperti kata Sri Rahayu, masyarakat tetap menjalankan kegiatan keagamaan tanpa mengindahkan prinsip dari PSBB. Tengok saja di Surabaya, meski sudah ada PSBB yang melarang kegiatan keagamaan untuk sementara waktu, namun masih ada 290 masjid yang menyelenggarakan salat tarawih berjamaah.
Sumber : Tirto [Langgar PSBB, 290 Masjid di Surabaya Gelar Tarawih Berjamaah]
Pembangkangan sejumlah daerah terhadap mekanisme PSBB yang ditetapkan pusat, maupun sejumlah potensi kegagalan PSBB di sejumlah daerah, semakin disuburkan dengan adanya pembangkangan di tubuh pemerintahan pusat terhadap Permenkes yang mengatur PSBB.